MENJELANG dan setelah Kongres Tahunan PSSI di Palangkaraya, 18 Maret 2012 lalu, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin terus menyatakan niatnya untuk melakukan rekonsiliasi dengan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Demi terwujudnya rekonsiliasi, PSSI berencana mengakui Liga Super Indonesia.
Pertanyaan yang timbul kemudian, seriuskah niat PSSI ini?
“Dalamnya samudra dapat diselami, dalamnya hati siapa yang tahu,” begitu kata pepatah. Serius-tidaknya ucapan Djohar hanya dirinya dan segenap pengurus PSSI saja yang tahu. Namun demi kemajuan sepak bola nasional, ucapan tersebut sudah semestinya bersifat serius dan diseriusi.
Ingin Menang Sendiri
Masalahnya, dalam kongres yang baru lalu PSSI tak banyak membahas soal dualisme kompetisi dan upaya rekonsiliasi. Dari 9 poin hasil kongres yang dirilis PSSI, hanya 2 poin yang membahas tentang dualisme kompetisi. Itupun isinya mengesankan PSSI hanya ‘mau menang sendiri’ serta ‘merasa benar sendiri’.
Coba baca poin keempat.
Menurut poin tersebut, Kongres menyetujui penguatan skorsing pada klub-klub LSI. Pertanyaannya, kalau ingin rekonsiliasi kenapa justru menguatkan skorsing? Apa tidak sebaiknya poin tersebut berisi persetujuan terhadap penguatan upaya menuju tercapainya rekonsiliasi dengan klub-klub LSI dalam tempo sesingkat-singkatnya?
PSSI juga hanya mau menerima klub-klub LSI jika menyampaikan surat pernyataan tertulis. Tak cukup sampai di situ, pernyataan tersebut juga harus dipublikasikan! Syarat adanya pernyataan tertulis masih bisa dimaklumi, tapi syarat publikasi? Syarat ini jelas sekali mengisyaratkan bahwa PSSI memosisikan dirinya di pihak yang benar, dan klub-klub LSI di pihak yang salah.
Baca juga poin keenam.
Poin ini juga menyiratkan sikap ingin menang sendiri. Ingat saat KONI mempertemukan PSSI dengan perwakilan KPSI beberapa hari menjelang Kongres Tahunan PSSI? Belum setengah jalan pertemuan berlangsung, utusan PSSI sudah meninggalkan ruangan karena merasa keinginannya tak dipenuhi KONI.
Belajar Mendengar
Apa mungkin tercapai rekonsiliasi jika keinginan PSSI saja yang harus terpenuhi? Bagaimana dengan keinginan klub-klub LSI, akankah PSSI mau mendengarkan dan mengakomodir? Jika benar-benar ingin mewujudkan rekonsiliasi, sudah seharusnya PSSI mau mendengar suara klub-klub LSI. PSSI juga harus bersedia mengalah jika memang ada kebijakan yang ternyata menyimpang.
Djohar selaku ketua umum semestinya memahami alasan klub-klub LSI menolak LPI yang digagas PSSI. Ini bukan soal dendam, tapi soal kepantasan. Benar selama ini LSI masih banyak kekurangan. Buruknya kepemimpinan wasit, pemakaian dana APBD, kasus pengaturan skor, atau maraknya perkelahian antarpemain serta antarsuporter adalah problem utama LSI. Tapi apakah menghentikan LSI dan membuat kompetisi baru adalah solusinya? Bukan.
Lalu bagaimana dengan 6 klub divisi bawah yang diberi tiket gratis ke kasta tertinggi? PSMS, Persebaya dan Bontang FC seharusnya berlaga di Divisi Utama musim ini. PSM Makassar, Persema dan Persibo bahkan sempat diskorsing oleh PSSI era Nurdin. Maukah PSSI mengabulkan tuntutan kubu LSI yang ingin keenam klub tersebut dikeluarkan dari kompetisi level teratas?
Belum lagi soal dualisme klub. Arema, Persija, Persebaya, Gresik Uited adalah contoh klub yang terbelah dua akibat konflik PSSI-KPSI. Dapatkah PSSI bersikap netral dan mengambil keputusan yang adil dan jujur mengenai hal ini?
Deadline yang diberikan FIFA pada PSSI untuk menyelesaikan masalah dualisme kompetisi sudah lewat. Hingga batas waktu yang ditentukan FIFA kompetisi di Indonesia tetap ada dua, LPI dan LSI.
Indonesia terancam sanksi. Namun apapun keputusan FIFA upaya rekonsiliasi tetap harus dijalankan. PSSI harus membuktikan niat tersebut serius dan murni demi kepentingan sepak bola nasional. Bukan karena ancaman sanksi FIFA, bukan karena segan pada Presiden, bukan pula karena motif lain. Buktikan bahwa niat mewujudkan rekonsiliasi tidak setengah hati!
Pertanyaan yang timbul kemudian, seriuskah niat PSSI ini?
“Dalamnya samudra dapat diselami, dalamnya hati siapa yang tahu,” begitu kata pepatah. Serius-tidaknya ucapan Djohar hanya dirinya dan segenap pengurus PSSI saja yang tahu. Namun demi kemajuan sepak bola nasional, ucapan tersebut sudah semestinya bersifat serius dan diseriusi.
Ingin Menang Sendiri
Masalahnya, dalam kongres yang baru lalu PSSI tak banyak membahas soal dualisme kompetisi dan upaya rekonsiliasi. Dari 9 poin hasil kongres yang dirilis PSSI, hanya 2 poin yang membahas tentang dualisme kompetisi. Itupun isinya mengesankan PSSI hanya ‘mau menang sendiri’ serta ‘merasa benar sendiri’.
Coba baca poin keempat.
“Kongres menyetujui penguatan skorsing kepada 32 klub yang telah diputuskan Komite Eksekutif karena mengikuti breakaway league. Namun, kepada seluruh klub tersebut, terbuka kesempatan untuk kembali dengan syarat menyampaikan pernyataan kembali bergabung secara tertulis dan terpublikasikan, juga berjanji untuk memenuhi statuta dan ketentuan yang berlaku.”
Menurut poin tersebut, Kongres menyetujui penguatan skorsing pada klub-klub LSI. Pertanyaannya, kalau ingin rekonsiliasi kenapa justru menguatkan skorsing? Apa tidak sebaiknya poin tersebut berisi persetujuan terhadap penguatan upaya menuju tercapainya rekonsiliasi dengan klub-klub LSI dalam tempo sesingkat-singkatnya?
PSSI juga hanya mau menerima klub-klub LSI jika menyampaikan surat pernyataan tertulis. Tak cukup sampai di situ, pernyataan tersebut juga harus dipublikasikan! Syarat adanya pernyataan tertulis masih bisa dimaklumi, tapi syarat publikasi? Syarat ini jelas sekali mengisyaratkan bahwa PSSI memosisikan dirinya di pihak yang benar, dan klub-klub LSI di pihak yang salah.
Baca juga poin keenam.
“PSSI diberikan kewenangan oleh Kongres untuk menyelesaikan dualisme kompetisi dengan berlandaskan 5 skema penawaran yang telah diajukan kepada KONI pada tanggal 12 dan 14 Maret 2012.”
Poin ini juga menyiratkan sikap ingin menang sendiri. Ingat saat KONI mempertemukan PSSI dengan perwakilan KPSI beberapa hari menjelang Kongres Tahunan PSSI? Belum setengah jalan pertemuan berlangsung, utusan PSSI sudah meninggalkan ruangan karena merasa keinginannya tak dipenuhi KONI.
Belajar Mendengar
Apa mungkin tercapai rekonsiliasi jika keinginan PSSI saja yang harus terpenuhi? Bagaimana dengan keinginan klub-klub LSI, akankah PSSI mau mendengarkan dan mengakomodir? Jika benar-benar ingin mewujudkan rekonsiliasi, sudah seharusnya PSSI mau mendengar suara klub-klub LSI. PSSI juga harus bersedia mengalah jika memang ada kebijakan yang ternyata menyimpang.
Djohar selaku ketua umum semestinya memahami alasan klub-klub LSI menolak LPI yang digagas PSSI. Ini bukan soal dendam, tapi soal kepantasan. Benar selama ini LSI masih banyak kekurangan. Buruknya kepemimpinan wasit, pemakaian dana APBD, kasus pengaturan skor, atau maraknya perkelahian antarpemain serta antarsuporter adalah problem utama LSI. Tapi apakah menghentikan LSI dan membuat kompetisi baru adalah solusinya? Bukan.
Lalu bagaimana dengan 6 klub divisi bawah yang diberi tiket gratis ke kasta tertinggi? PSMS, Persebaya dan Bontang FC seharusnya berlaga di Divisi Utama musim ini. PSM Makassar, Persema dan Persibo bahkan sempat diskorsing oleh PSSI era Nurdin. Maukah PSSI mengabulkan tuntutan kubu LSI yang ingin keenam klub tersebut dikeluarkan dari kompetisi level teratas?
Belum lagi soal dualisme klub. Arema, Persija, Persebaya, Gresik Uited adalah contoh klub yang terbelah dua akibat konflik PSSI-KPSI. Dapatkah PSSI bersikap netral dan mengambil keputusan yang adil dan jujur mengenai hal ini?
Deadline yang diberikan FIFA pada PSSI untuk menyelesaikan masalah dualisme kompetisi sudah lewat. Hingga batas waktu yang ditentukan FIFA kompetisi di Indonesia tetap ada dua, LPI dan LSI.
Indonesia terancam sanksi. Namun apapun keputusan FIFA upaya rekonsiliasi tetap harus dijalankan. PSSI harus membuktikan niat tersebut serius dan murni demi kepentingan sepak bola nasional. Bukan karena ancaman sanksi FIFA, bukan karena segan pada Presiden, bukan pula karena motif lain. Buktikan bahwa niat mewujudkan rekonsiliasi tidak setengah hati!
Baca edisi cetaknya di tabloid BOLA edisi Senin-Rabu, 2-4 April 2012, rubrik Oposan.