Quantcast
Channel: bungeko.com
Viewing all articles
Browse latest Browse all 271

Menunggu Film Wiro Sableng

$
0
0
GENERASI 70' dan 80'-an pasti kenal pendekar satu ini. Ya, dialah Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Setelah lama hanya menjadi gosip di forum-forum penggemar sang pendekar, kabar mengenai bakal dibuatnya film Wiro Sableng jadi kenyataan. Menurut kasak-kusuk yang beredar dari forum ke forum, film ini bakal tayang pada 2017 mendatang.

Saya salah satu generasi 80'-an yang sangat menggemari Wiro Sableng. Berawal dari nemu secara tak sengaja, saya lalu rutin membeli kisah-kisah petualangan pendekar bernama asli Wiro Saksana ini. Meski tinggal di desa transmigrasi -- dari Batumarta di (waktu itu) Ogan Komering Ulu hingga pindah ke Sungai Bahar di Jambi, saya tetap setia mencari edisi-edisi terbaru Wiro Sableng.

Seperti pernah saya ceritakan di posting ini, saya pertama kali berkenalan dengan Wiro Sableng pada kelas V Sekolah Dasar. Waktu itu saya sedang berkunjung ke rumah salah satu pakdhe di desa tetangga, di rumah itulah saya pertama kali membaca petualangan pendekar karangan Bastian Tito tersebut.

Judul novel Wiro Sableng pertama yang saya baca adalah Singa Gurun Bromo. Petualangan Wiro kali ini berkisah tentang putri bangsawan yang menjadi jahat karena dibakar cemburu. Sang putri rusak wajahnya dicakar harimau saat diajak ayahnya berburu ke hutan. Sejak itu sang putri harus mengenakan cadar untuk menyembunyikan wajah cacatnya. Tak ada lelaki yang tertarik padanya sekalipun ia putri seorang bangsawan.

Namanya hati, siapa yang bisa menahan orang jatuh cinta? Dalam kesepiannya, putri tersebut jatuh cinta pada seorang ksatria. Tentu saja cinta terpendam. Ndilalah, ksatria pujaan hatinya itu rupanya tengah menjalin asmara dengan seorang wanita bernama Larasati. Keduanya sudah merencanakan pernikahan.

Di sinilah drama bermula. Dibakar api cemburu, sang putri menculik Larasati untuk disiksa agar batal menikah dengan si ksatria. Ksatria itu pun lantas jadi musuh bersama. Kemana pun ia pergi selalu dimata-matai pendekar bayaran sang putri. Kejadian berikutnya adalah ksatria bergelar Singa Gurun Bromo itu berkenalan dengan Wiro Sableng di sebuah warung makan. Lalu keduanya berhasil membebaskan Larasati dari sekapan sang putri. Tamat.

Motivasi Menulis
Saya tak ingat apa judul berikutnya yang saya baca setelah Singa Gurun Bromo. Yang jelas saya lantas keranjingan dengan petualangan pendekar satu ini. Awalnya hanya pinjam ke teman, lalu saya beli sendiri setiap kali edisi baru terbit. Tidak mau ketinggalan pokoknya.

Hmmm, sebenarnya bukan edisi terbaru sih. Waktu itu saya masih tinggal di Batumarta VI. Jauh dari Baturaja, ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU). Apalagi dari Palembang, ibukota provinsi Sumatera Selatan. Akses saya ke bahan bacaan adalah Pasar Unit VI yang hanya ramai pedagang sepekan sekali, yakni tiap hari Kamis. Saat itulah pedagang dari kota datang menyesaki pasar. Saat itu pulalah saya bisa membeli Wiro Sableng.

Tergantung ketersediaan stok penjual, terkadang saya bisa mendapatkan Wiro Sableng edisi terbaru. Tetapi lebih sering tidak. Jadi mau tidak mau harus puas dengan stok yang ada. Saya tentu saja memilih judul-judul yang belum saya baca.

Jaman itu Wiro Sableng tengah bertualang ke Negeri Latanahsilam. Saya dengan sabar mengumpulkan episode demi episode petualangannya di negeri masa silam yang berselisih 1.200 tahun lebih tua dari peradaban Jawa era Wiro. Episode pertama dari serial Latanahsilam yang saya baca adalah Peri Angsa Putih. Ya, meloncat beberapa episode karena petualangan ini dimulai dari episode Bola-bola Iblis.

Lalu saya dan adik-adik diboyong ke Jambi oleh Ibu, menyusul Bapak yang sudah terlebih dahulu merantau ke sana. Kondisinya kurang-lebih sama seperti di Batumarta. Bedanya, hari pasaran di Sungai Bahar VI adalah hari Sabtu. Perbedaan lain, letak pasar kali ini jauh dari sekolah saya. Jika semasa di Batumarta saya bisa memanfaatkan waktu istirahat kedua untuk ke pasar, kali ini harus menunggu sekolah usai jika tidak mau bolos.

Untungnya pelajaran lebih sedikit di hari Sabtu, sehingga saya pulang lebih cepat dari hari biasa. Tapi perjalanan dari sekolah ke pasar lumayan jauh. Kira-kira sepeminuman teh, pakai ukuran waktu sekarang ya kurang-lebih 10-15 menit. Jalan kaki.

Harga novel Wiro Sableng dipatok Rp1.500 per judul. Tapi penjualnya memberi harga khusus, Rp3.000 dapat tiga judul. Saya tidak setiap hari punya uang saku. Hanya sesekali saja diberi uang oleh Bapak, terkadang Rp5.000, lain kali Rp10.000, tergantung rejeki beliau. Kalau ada uang seringkali saya habiskan untuk memborong Wiro Sableng. Saya tawar, Rp5.000 dapat enam judul boleh tidak. Biasanya sih boleh. :)

Saya masih ingat betul wajah pedagang langganan saya membeli Wiro Sableng. Terakhir kali ke pasar ini pada liburan lebaran tahun 2014, saya lihat bapak-ibu pedagang tersebut masih berjualan di tempat yang sama. Saya yakin mereka tidak lagi mengingat saya yang sudah jauh berubah dari saat SMP dulu.

Di Jambi-lah saya melanjutkan pengumpulan episode demi episode seri Latanahsilam. Bola-Bola Iblis, Hantu Jatilandak, Rahasia Bayi Tergantung, Hantu Tangan Empat, Hantu Muka Dua, dan berakhir di Rahasia Kincir Hantu. Selepas itu saya pindah ke Muara Bulian, masuk SMA. Meski bergeser ke kota, nyatanya saya malah tak bisa mendapatkan Wiro Sableng di sini. Kemudian episode Latanahsilam terlewati dan saya melompat ke serial Kembali ke Tanah Jawa dan Badik Sumpah Darah.

Oya, selain bahan bacaan, novel-novel Wiro Sableng juga merupakan motivasi saya dalam menulis. Kalau kamu pernah baca Wiro Sableng episode Latanahsilam, di sana ada foto almarhum Bastian Tito di ruang kerjanya. Duduk dengan wajah menyungging senyum tipis, pengarang idola saya tersebut menghadap sebuah benda semacam laptop di atas meja kayu.

Foto itu telah menginspirasi saya. Setiap kali melihat foto Bastian Tito tersebut, saya sontak membayangkan kalau sayalah yang terlihat di foto tersebut. Dan nama sayalah yang tercetak di sampul buku tersebut. Saya bayangkan seorang remaja seusia saya rela berjalan kaki dari sekolahnya ke pasar untuk membeli novel silat karangan saya. Senyum tipis pun turut tersungging di bibir saya. Saya duduk di kelas I SMP saat itu.

Ya, Bastian Tito melalui Wiro Sableng-lah yang telah memotivasi saya untuk menjadi seorang penulis. Saya awali impian itu dengan menjiplak cerita-cerita Wiro Sableng. Menggunakan buku tulis, saya biasanya mengambil plot salah satu judul lalu mengubah konflik, latar belakang dan nama tokoh-tokohnya. Lalu lahirnya duo pendekar yang saya beri nama Kuda Wihara dan Gajah Pura. Hahaha, jangan ketawa ya.

Hasrat menulis saya kian menjadi-jadi saat pindah ke Jambi. Ada peningkatan karena kemudian saya tidak lagi menjiplak cerita Wiro Sableng. Mungkin karena sudah terlalu kenyang dengan novel-novel pendekar satu ini, saya akhirnya "mahir" mereka tokoh pendekar sendiri. Lalu lahirlah novel Jawara Loreng, serial Soko Gendeng si Pendekar Clurit Emas yang sampai 10 episode berbentuk tulisan tangan di buku tulis, dan beberapa kisah pendekar lain. Sayang, semua karya awal saya tersebut dibawa seorang teman kuliah dan tak pernah kembali.


Film Wiro Sableng
Oya, suka baca novelnya tentu saya juga suka menyaksikan filmnya. Seingat saya, saya malah lebih dahulu menonton film Wiro Sableng ketimbang membaca novelnya. Film Wiro Sableng sudah saya tonton saat saya kelas III atau IV SD semasa di Palembang. Tapi waktu itu saya tidak tahu itu pendekar apa dan bagaimana ceritanya. Yang masih teringat saya menyaksikan film tersebut bersama ibu dan sejumlah tetangga.

Saat saya pindah ke Jambi, Wiro Sableng tengah tayang sebagai sinetron setiap akhir pekan di RCTI. Saya tak begitu menyukai versi layar kaca ini. Entah mengapa saya tidak sreg dengan Ken Ken dan Abhie Cancer yang menurut saya tidak pas memerankan Wiro Sableng. Atau kemungkinannya adalah, Ken Ken dan Abhie tidak sesuai dengan sosok Wiro Sableng yang selama ini ada dalam imajinasi saya. Juga persoalan adaptasi yang membuat cerita versi sinetron berbeda jauh dengan versi novel.

Selain Wiro Sableng, Bastian Tito juga menciptakan tokoh rekaan lain. Ada yang namanya Mahesa Kelud, lalu untuk segmen remaja diciptakan tokoh Boma Gendenk. Saya suka mengikuti serial yang terakhir ini. Selain tokohnya seumuran dengan saya, ceritanya juga tentang anak SMA, yang dicampur dengan tokoh-tokoh jaman Wiro Sableng yang juga sangat familiar bagi saya.

Di sampul belakang novel Boma Gendenk ini biasanya terpampang foto Vino G. Bastian dan terkadang seorang gadis, mungkin adiknya. Dulu namanya hanya ditulis Vino saja. Saya tak terlalu mengingat nama ini. Sampai bertahun-tahun kemudian Vino G. Bastian tenar sebagai aktor, saya masih juga tak tahu kalau dia anak Bastian Tito. Pada satu kesempatan adik saya memberi tahu kalau Vino adalah anak Bastian Tito yang fotonya dulu selalu ada di sampul belakang novel Boma Gendenk.

Tiba-tiba saja saya jadi fan Vino G. Bastian. :D

Eh, siapa sangka jika belasan tahun kemudian Vino memerankan tokoh rekaan ayahnya ini. Tentu bukan cuma faktor ayah-anak. Dalam hemat saya Vino sangat cocok memerankan Wiro Sableng. Postur tubuhnya, juga garis wajahnya. Tambahan lagi, Vino tumbuh besar bersama Wiro Sableng. Bastian Tito punya lukisan Wiro Sableng besar di rumahnya, tentulah Vino sudah akrab dengan pendekar satu ini sejak kecil. Character building dan chemistry terhadap tokoh satu ini harusnya lebih mudah dilakukan oleh Vino.

Satu hal yang bakal agak mengganggu mungkin faktor suara. Vino bertipe suara serak-serak basah, agak kurang cocok memerankan pendekar jenaka yang identik dengan nada suara riang. Ini menurut pendapat saya lho ya...

Oya, bocoran mengenai film Wiro Sableng didapat langsung dari Sheila Timothy. Produser Lifelike Pictures ini membagikan gambar Kapak Maut Naga Geni 212 di akun Twitter-nya pada 11 Januari lalu. "Mari kita mulai kerja," tulis kakak ipar Vino ini disertai tagar #WS212 yang merupakan akronim Wiro Sableng 212.

Sehari berselang, Lala membagikan foto dirinya bersama Vino, Yayan Ruhian dan Cecep Arief Rahman. Tidak ada bocoran apakah kedua aktor laga tersebut bakal dilibatkan sebagai aktor, menjadi sutradara laga, atau malah hanya melatih Vino. Tapi jika Yayan dan Cecep terlibat, film Wiro Sableng dijamin bakal seru. Setidaknya adegan laganya bakal menyamai The Raid atau Merantau yang membawa nama Indonesia ke pentas dunia.

Saya sangat tidak sabar menantikan film ini. Kamu?

Sumber foto:@lalatimothy

Viewing all articles
Browse latest Browse all 271

Trending Articles