
LIBUR lebaran tahun 2014 lalu saya mengajak istri dan anak-anak mudik ke Sungai Bahar, Jambi. Setelah puas melepas rindu pada Bapak-Ibu, kamipun kembali ke Pemalang. Rute mudik kami adalah Pemalang-Jakarta via travel atau kereta api, lalu sambung pesawat Jakarta-Jambi. Pulangnya rute tersebut dibalik. Jambi-Jakarta naik pesawat, lalu disambung travel atau kereta ke Pemalang.
Saya sudah pesan tiket pesawat Jambi-Jakarta tanggal 15 Agustus 2014, tapi belum menentukan mau naik travel atau kereta ke Pemalang. Selagi menimbang-nimbang, terlintas pikiran untuk mampir di Jakarta barang 1-2 hari dan mengajak anak-anak keliling ibukota. Mumpung Jakarta sepi jelang Agustusan.
Lalu saya berhitung-hitung. Cukup siapkan biaya transportasi dan uang makan saja. Tidak banyak kok. Lalu, penginapannya bagaimana? Tenang, ada adik yang tinggal di daerah Palmerah bersama suaminya. Jadi rencananya kami nebeng di tempat mereka barang 1-2 malam. Tentu saja adik saya dengan senang hati menerima kami.
Jadilah saya hanya perlu menyiapkan anggaran untuk ongkos taksi dari bandara ke Palmerah. Untuk mengelilingi Jakarta, kami berencana mencobai bus Transjakarta dan itu tidak butuh biaya banyak. Plus tiket masuk ke beberapa objek dan makanan-minuman selama di perjalanan, rasanya uang Rp500.000 sudah lebih dari cukup.
Eh, ternyata Ibu saya ingin ikut. Meski sudah beberapa kali ke Jakarta, tapi Ibu belum pernah berwisata bareng cucunya di ibukota. Jadilah kami berlima (saya, istri, Ibu dan dua anak) terbang ke Jakarta. Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, adik saya sudah menunggu di terminal kedatangan. Tak lama-lama di bandara, kami langsung mencari taksi dan meluncur ke Palmerah.
Seharian di Monas
Awalnya adik saya berencana mengajak kami ke sebuah mal malam itu. Mal bagus dan wah yang tidak ada di Jambi, kata adik saya. Tapi melihat anak-anak kelelahan dan sepertinya sudah pewe di depan televisi, rencana itu diganti. Tetap ke pusat perbelanjaan, tapi hanya ke salah satu minimarket untuk membeli es krim kesukaan anak-anak. Hehehe...
Besoknya kami bangun pagi-pagi. Usai mandi dan sarapan kami keluar ke pinggir jalan untuk mencari angkot ke halte Transjakarta terdekat. Melewati Pasar Palmerah, kantor Kompas Gramedia, kantor Jakarta Post dan beberapa gedung lain, kamipun tiba di sebuah halte yang sayangnya saya lupa namanya. Letak halte berada di tengah-tengah (separator) jalan, jadi kami harus naik jembatan penyeberangan menuju ke sana.
Dasar anak-anak, saat berada di bagian jembatan penyeberangan yang tepat di atas jalan raya mereka malah berhenti. Mereka senang sekali bisa melihat berbagai macam kendaraan melaju kencang dari atas. Damar malah sesekali berlarian, terlebih setelah tahu lantai metal jembatan berbunyi keras jika diinjak.
Sampai di halte, bus koridor yang ingin ditumpangi langsung muncul tak lama setelah kami menyerahkan tiket masuk ke petugas. Enaknya jalan-jalan di Jakarta saat libur panjang, suasana di mana-mana sangat lengang. Begitu pula dengan bus Transjakarta hari itu. Kami pun dapat dengan leluasa memilih tempat duduk. Setelah transit sekali, kami akhirnya tiba di Monas.
Letak halte tempat kami turun agak jauh dari pintu masuk Monas. Kami musti berjalan kaki sekitar 10 menit. Tapi belum sampai ke tujuan kami tergoda bus wisata gratis yang haltenya kami lewati. GRATIS! Tulis sebuah plang di halte bus wisata tersebut. Sekitar beberapa menit menunggu, bus berwarna kuning-biru itu tiba. Seorang pramugara menyambut kami dengan ramah sembari membukakan pintu.
Lagi-lagi beruntung kami wisata ke Jakarta saat libur panjang. Bus wisata tersebut nyaris kosong. Oleh pramugara kami diarahkan untuk naik ke lantai atas. "Kosong, Pak," katanya. Anak-anak senang bukan kepalang. Ini kali pertama mereka naik bus tingkat. Apalagi mereka bisa duduk paling depan sehingga pandangan bebas kemana-mana.
Puas naik bus tingkat kami melanjutkan perjalanan ke Monas. Kebetulan sekali di gerbang masuk area Monas ada kereta wisata, jadi kami memilih naik kereta tersebut menuju ke pelataran pintu masuk. Maklum, kami bawa anak-anak jadi harus menghemat tenaga. Sewaktu-waktu mereka mogok tak mau jalan, kami harus siap menggendong dan itu butuh tenaga tidak sedikit. Hehehe...
Singkat kata sampailah kami di pelataran Monas. Karena hari sudah menjelang tengah hari, kami tidak langsung masuk ke dalam. Adik saya mengajak kami ke dekat kolam air mancur untuk mengaso sembari makan siang menikmati bekal yang ia siapkan pagi tadi. Ternyata kami tak hanya sebentar duduk-duduk di samping kolam. Anak-anak sangat senang sekali berada di sana. Melempari kolam dengan batu-batu kecil, memanjat pohon jambu tak jauh dari tempat kami duduk, hingga berlarian ke sana-sini.
Lebih sejam kemudian barulah kami masuk ke dalam. Melewati terowongan, beli tiket, lalu naik ke atas. Semuanya dijalani anak-anak dengan riang. Sampai di dalam Monas pun mereka terus berlari-larian. Turun ke basement, Damar langsung merebahkan badannya ke lantai dingin. Lalu dia mengajak saya main kejar-kejaran. Permainan yang membuat saya berkeringat itu baru berhenti setelah saya mengajaknya melihat kapal dan pesawat kecil dalam kotak diorama.
Menurut rencana awal, seharusnya kami di Monas hanya beberapa jam saja lalu meluncur ke kebun binatang Ragunan. Tapi rupanya anak-anak betah di Monas. Setelah berlari-larian di basement, melihat diorama dua kali putaran, mereka main prosotan di dalam ruang baca teks Proklamasi. Dinding miring yang ada di ruang tersebut rupanya mengingatkan Damar pada mainan prosotan di Pemalang. Susah-payah kami membujuk mereka agar mau berhenti.
Keluar dari dalam bangunan Monas, di pelataran ada gladi resik jelang perayaan 17 Agustus. Hal yang bagi orang dewasa tak menarik itu rupanya membuat Damar dan Dian tak mau beranjak. Barulah setelah acara gladi resik selesai kami berhasil mengajak mereka pulang. Capek yang melanda membuat agenda ke kebun binatang dibatalkan. Apalagi hari sudah menunjukkan jam empat lewat. Kami harus pulang dan istirahat. Besok kereta kami ke Pemalang berangkat jam 08.00 WIB.

Hemat karena Menginap Gratis
Hanya satu hari dan hanya ke Monas, tapi wisata dadakan kali itu membuat saya dan anak-anak menginap dua malam di Jakarta. Saya beruntung punya adik di ibukota, sehingga untuk wisata kali itu hanya keluar uang tak seberapa untuk ongkos, tiket masuk dan jajan. Kalau dihitung-hitung, total paling banyak habis Rp250.000 untuk berlima termasuk Ibu. Super irit!
Bayangkan berapa biaya yang harus saya keluarkan kalau saja tak punya adik di Jakarta. Selain biaya-biaya di atas, saya juga harus memikirkan biaya penginapan. Dan ini membutuhkan uang tidak sedikit. Memakai layanan pencarian hotel milik Traveloka, tarif hotel termurah di kawasan Jakarta Pusat sebesar Rp310.000/malam. Sedangkan tarif hostel ada di kisaran Rp190.000/malam.
Misalkan saat itu kami menginap di hotel termurah versi Traveloka, maka untuk dua malam kami harus keluar uang sebanyak Rp620.000. Itu belum termasuk biaya extra bed karena kami berempat, plus tambahan sarapan. Sedangkan jika menginap di hostel biaya akomodasi yang musti disiapkan sebanyak Rp380.000. Juga belum termasuk pengeluaran esktra yang mungkin timbul.
Oya, itu cuma menghitung kami berempat. Sedangkan saat itu Ibu dari Jambi juga ikut. Ditambah Ibu, perhitungan biaya penginapan jadi berlipat ganda, alias dua kamar dua malam sama dengan Rp760.000 untuk hostel termurah versi Traveloka.
Itu baru penginapan. Bagaimana dengan makanan? Siapapun tahu harga makanan di Jakarta sangat tinggi. Kami sekali makan empat mulut, atau jadi lima kalau Ibu juga dihitung. Katakanlah kami makan di gerai makanan cepat saji dan ambil menu yang satu porsi harganya Rp15.000, maka sudah habis Rp75.000 sekali makan. Dikurangi sarapan di hotel, untuk dua kali makan butuh anggaran setidak-tidaknya Rp150.000 sehari.
Hitung punya hitung, andaikan saat itu kami tak menginap di tempat adik saya, untuk wisata dua hari dua malam di Jakarta harus ada budget minimal Rp 1,5 juta. Sedangkan dengan menginap di tempat adik, biayanya paling banyak Rp250.000. Penghematannya sampai Rp1.250.000 sendiri. Ini bukan uang sedikit!
Jadi, beruntunglah kita yang punya banyak saudara tersebar di mana-mana. Karena sewaktu-waktu ada kesempatan berwisata ke kota mereka, kita sudah tidak perlu pusing dengan biaya penginapan. Dan biasanya penginapan di tempat saudara itu juga termasuk makan-minum lho. Hematnya dobel, hehehe...
Ngomong-ngomong, saya jadi ingat kalau punya paman di perbatasan Situbondo dan hanya berjarak 30 menit dari kota Banyuwangi. Bukankah wisata Banyuwangi tengah hit? Saya juga punya saudara jauh dari pihak Ibu yang tinggal di Denpasar, Bali. Sepertinya dua tempat tersebut bakal jadi destinasi wisata keluarga kami selanjutnya.
Tolong bantu aminkan ya...