
AHAD (3/4/2016) lalu Damar anak sulung saya sakit. Selepas mandi sore badannya terasa agak hangat, lalu suaranya bindeng. "Bakal flu nih," pikir saya. Malam harinya ia panas tinggi diselingi mengigau dan beberapa kali terbangun dari tidur.
Pagi keesokan harinya saya bawa Damar berobat ke Puskesmas. Beruntung sekali kami tinggal tak jauh dari pusat layanan kesehatan. Desa Banjardawa tempat kami tinggal merupakan pusat pemerintahan Kec. Taman, Pemalang. Sehingga seluruh pusat layanan publik berada di desa ini.
Letak Puskesmas dari rumah sangat dekat. Cukup berjalan kaki sekitar 5-6 menit, atau kalau tak mau berpanas-panasan kami naik sepeda motor dan beberapa menit kemudian sudah sampai. Terkadang berangkat jalan kaki pulang naik becak, ongkosnya hanya Rp5.000 sampai depan rumah.
Berobat di Puskesmas sangat terjangkau. Pasien hanya dimintai uang sebesar Rp5.000 sebagai biaya pendaftaran sekaligus ongkos periksa dan obat. Pemegang kartu BPJS malah bisa berobat gratis dengan menunjukkan kartu mereka pada saat mendaftar.
Saya jadi ingat semasa kecil di Batumarta VIII, sebuah daerah transmigrasi yang kini masuk wilayah administratif Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan. Pemukiman di pelosok yang usia keberadaannya belum genap 15 tahun ketika itu, sehingga masih sangat minim fasilitas layanan umum. Tiga tahun tinggal di sana, saya tak pernah ke Puskesmas padahal sempat sakit beberapa kali.
Masa itu jika saya sakit Ibu tak bisa membawa saya kemana-mana. Puskesmas desa letaknya entah di mana, sedangkan Ibu tak punya kendaraan. Bisa saja pinjam sepeda motor tetangga, tapi jalan penghubung yang masih berupa tanah berbatu kondisinya rusak parah. Belum lagi sepanjang jalan harus melewati hutan dengan beragam hewan yang masih berkeliaran bebas.
Angkutan umum? Satu-satunya kendaraan umum hanya lewat dua kali sehari, pagi berangkat ke kota dan sore hari membawa penumpang kembali dari kota. Selain dua waktu itu jalanan bakal sepi sekali, nyaris seperti kota mati. Hanya sesekali saja terlihat sepeda motor atau truk pengangkut getah karet lewat.
Jalan poros antardesa baru ramai di hari Kamis. Itu merupakan hari pasaran Batumarta VI, desa tetangga yang lebih ramai. Di hari itu angkutan umum bisa lewat berkali-kali sehari, membawa petani yang hendak menjual hasil tanamannya bersama ibu-ibu yang ingin berbelanja di pasar tersebut.
Jangan bayangkan angkutan umumnya seperti angkot di kota-kota yang warna-warni dengan musik berdentum. Angkutan umum di sana saat itu adalah mobil pick up yang bagian bak belakangnya diberi terpal sebagai atap, lalu tempat duduknya berupa bangku panjang terbuat dari rangkaian besi.

Mobil angkutan umum di Batumarta, OKU Timur, Sumatera Selatan. FOTO: https://radintemen.wordpress.com
Sebenarnya ada seorang bulik saya yang jadi bidan desa, tapi beliau tugas di Desa Batumarta VI. Jaman itu belum ada handphone, jadi satu-satunya cara untuk meminta bantuan Bulik adalah dengan datang langsung ke rumahnya. Dan itu tak mungkin kami lakukan karena kendala transportasi.
Saat lebaran atau hari-hari tertentu, Ibu beberapa kali mengajak saya dan adik-adik berjalan kaki dari rumah di Batumarta VIII ke tempat Bulik, di mana Pakde-Pakde saya dari pihak Ibu juga berkumpul. Waktu tempuhnya kurang-lebih 30 menit, melewati jalan aspal rata tapi sangat sepi sekali karena di kiri-kanannya adalah hutan liar.
Tidak mungkin rasanya Ibu mengajak saya yang sedang sakit berjalan kaki sejauh itu. Jadi kalau saya sakit Ibu melakukan perawatan sendiri sebisanya di rumah. Saya mengidap gejala tipus yang kambuh tiap kali terlambat makan atau terlalu capai. Ibu biasanya mengompres kening saya dengan kain basah untuk menurunkan panas, lalu membuatkan bubur dan sayur bening, seraya meminta saya istirahat total sampai sembuh. Tak ada parasetamol, tak ada obat-obatan lain.
Perjuangan Bidan Desa
Masuk SMP, saya pindah ke Batumarta VI karena sekolah terletak di desa ini. Saya dititipkan di rumah Bulik yang tinggal di sebuah rumah dinas kosong bersama suaminya yang seorang (ketika itu) tamtama Angkatan Darat, anaknya yang masih bayi, dan nenek saya. Saat itulah saya menjadi saksi perjuangan sekaligus keprihatinan seorang bidan desa di pemukiman terpencil.
Bulik saya resminya bertugas di Batumarta VI, menjadi partner seorang mantri di Puskesmas Pembantu yang terletak di Pusat Desa. Namun wilayah kerja Bulik ternyata jauh melebar sampai ke desa-desa tetangga. Ia kerapkali menerima panggilan dari pasien yang tinggal belasan hingga puluhan kilometer dari rumahnya, terutama ibu-ibu melahirkan.
Pernah tengah malam saya terbangun dari tidur karena suara gaduh dari ruang tamu. Anak Bulik rewel minta disusui, menangis sejadi-jadinya tak mau berhenti. Susah payah nenek saya mendiamkannya, tapi tak kunjung berhasil. Bulik ternyata belum pulang dari rumah pasien. Padahal seingat saya ia berangkat sejak hari masih terang.
Pernah juga Bulik dibangunkan tengah malam buta. Seorang laki-laki berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, meminta tolong Bulik ikut dengannya karena istrinya hendak melahirkan. Biasanya Bulik akan langsung cuci muka, mempersiapkan keperluan persalinan dan obat-obatan, lalu mengikuti laki-laki tersebut dari belakang dengan sepeda motornya sendri.
Siapa bisa menjamin laki-laki itu orang jujur? Bulik saya masih sangat muda, langsing, penampilannya menarik. Kalau laki-laki itu bukan tipe penjahat kelamin, motor yang dikendarai Bulik masih cukup menggiurkan bagi kriminal. Sedangkan Batumarta saat itu masih sangat jarang penduduknya. Tiap-tiap desa dipisahkan oleh hutan dan perkebunan karet nan luas. Jangan kata tengah malam, sore hari pun jalanan sepi sekali.
Sah-sah saja kalau terbersit pikiran buruk menghadapi momen seperti itu. Namun dedikasinya terhadap profesi membuat Bulik membuang jauh-jauh pikiran negatif tersebut. Ia juga rela meninggalkan anaknya yang masih bayi demi menjalankan tugas, menolong masyarakat yang membutuhkan tenaganya. Kini beliau jadi salah satu bidan senior di OKU Timur, kabupaten baru pecahan Ogan Komering Ulu (OKU).
Naik kelas II SMP, saya diboyong Ibu pindah ke desa transmigrasi lain di Sungai Bahar, Jambi. Pemukiman ini lebih muda beberapa tahun dari Batumarta, jadi sekali lagi saya mengalami tinggal di daerah pelosok dengan layanan kesehatan terbatas.
Jalan di kebanyakan desa di Sungai Bahar masih berupa tanah. Kalau kemarau berdebu tebal, kalau hujan becek berlumpur.
Kami tinggal di Sungai Bahar Unit VI, desa yang sepertinya telah dirancang sebagai calon pusat pemerintahan andai daerah ini berkembang. Karenanya di desa ini terdapat SD, SMP, juga Puskesmas Pembantu yang ditangani seorang bidan desa. Meski ada Puskesmas, namun fasilitas dan stok obat di sini jauh dari kata memadai. Karenanya warga lebih senang berobat ke Muara Bulian, ibu kota kabupaten yang hanya berjarak tempuh 30 menit.
Jika sakitnya parah, pasien langsung dibawa ke Kota Jambi yang sebenarnya hanya berjarak sekitar 65 km. Namun karena jalanan lebih banyak rusak, jarak sejauh itu harus ditempuh dalam waktu paling cepat dua jam naik mobil. Ini pun bukan perkara mudah karena angkutan umum ke Jambi hanya berangkat sekali di pagi hari. Menyewa mobil berarti pengeluaran hingga 10 kali lebih banyak.
Beruntung kami sekeluarga tak pernah menderita sakit parah. Kalau sekedar sakit kepala atau demam ringan sering, tapi cukup diobati dengan obat beli di warung sebelah dan istirahat.
Kini Sungai Bahar sudah jauh berkembang, terutama semenjak lepas dari Kecamatan Mestong dan dipecah menjadi tiga kecamatan: Sungai Bahar, Bahar Selatan dan Bahar Utara. Sebuah rumah sakit umum daerah juga sudah didirikan di wilayah ini, sehingga warga Sungai Bahar tidak perlu lagi jauh-jauh ke kota untuk mendapatkan layanan kesehatan memadai.
Nusantara Sehat
Tumbuh besar di pelosok, saya menjadi saksi betapa minimnya layanan kesehatan di daerah-daerah terpencil yang jauh dari pusat kota. Saya juga melihat sendiri perjuangan bidan-bidan desa tangguh seperti Bulik saya yang rela ditugaskan di pelosok, dengan segala pengorbanan dan risiko yang harus mereka tanggung.
Melihat apa yang Bulik hadapi saat itu, saya bisa memaklumi jika banyak lulusan akademi kebidanan dan dokter yang terkesan menghindari daerah pelosok. Terutama mereka-mereka yang sejak kecil hidup enak di kota. Bayangkan saja, mereka harus bertugas sendirian di tempat asing nan terpencil, juga menangani semua hal terkait pengobatan dan kesehatan masyarakat.
Karenanya saya sangat mengapresiasi Program Nusantara Sehat yang digagas oleh Kementerian Kesehatan RI. Sebuah program yang bertujuan meningkatkan layanan kesehatan dasar di daerah-daerah terpencil. Program yang diawali dengan mengirim empat tim kesehatan ke empat Puskesmas di Sumatera Utara, kalimantan Barat, Maluku dan Papua pada tahun 2014.
Kemenkes agaknya menyadari bahwa menempatkan seorang bidan desa atau mantri kesehatan tak cukup memadai. Karenanya Nusantara Sehat merupakan program berbasis tim berisi 8-9 orang. Satu Tim Nusantara Sehat terdiri dari masing-masing seorang dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, dan tenaga kefarmasian.
Tim Nusantara Sehat diseleksi dengan ketat, sangat ketat. Hanya pemuda-pemudi terbaik bangsa yang dapat menjalankan tugas ini. Wajar, mereka akan ditempatkan di daerah pelosok dengan akses minim. Butuh kekuatan fisik dan lebih-lebih mental agar dapat menunaikan tanggung jawab dengan baik. Karenanya Kemenkes menjalin kerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia untuk menggembleng tim sebelum dikirim ke daerah.

Menteri Kesehatan meninjau pembekalan Tim Nusantara Sehat Gelombang II pada Oktober 2015. FOTO: Liputan6.com

Sebagian anggota Tim Nusantara Sehat yang siap dikirim ke berbagai pelosok negeri. FOTO: Flickr.com
Masing-masing tim ditempatkan di Puskesmas yang menjadi gugus tugasnya selama dua tahun. Mereka bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan dan melakukan upaya preventif melalui pendidikan kesehatan, penyuluhan, serta screening (penapisan).
Kalau ada yang bertanya kenapa dinasnya sampai dua tahun, bidan-bidan senior seperti Bulik saya rasanya bakal bertanya sebaliknya. "Kenapa cuma dua tahun?" Dua tahun adalah waktu minimal untuk mengadaptasi kebiasaan baik, untuk melihat perkembangan atau kemunduran dalam perilaku masyarakat di bidang kesehatan. Apakah mereka menjadi masyakarat yang lebih sadar kesehatan atau sebaliknya.
Berikut empat tugas pokok Tim Nusantara Sehat:
1. Menurunkan angka kematian ibu dan bayi
2. Memperbaiki asupan gizi masyarakat
3. Mencegah meluasnya penyakit menular
4. Mengendalikan penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, dan kanker
Tahun lalu, Kemenkes kembali mengirim Tim Nusantara Sehat ke sejumlah daerah terbelakang. Kali ini jauh lebih banyak, terdiri dari dua angkatan yang tersebar di total 120 Puskesmas. Angkatan pertama berkekuatan 142 tenaga kesehatan yang dikirim ke 20 Puskesmas, lalu angkatan kedua terdiri atas 552 tenaga kesehatan untuk 100 Puskesmas.
Salah satu tujuan Tim Nusantara Sehat angkatan kedua tersebut adalah Puskesmas Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Sebuah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Singapura, merupakan gabungan dari 108 pulau di mana hanya 43 pulau yang berpenghuni sedangkan 65 pulau lainnya kosong tanpa penduduk.
Belakang Padang menjadi pilihan Kemenkes karena daerah ini merupakan perbatasan negara. Sesuai cita-cita pembangunan yang tertuang dalam Nawacita, pemerintahan Presiden Jokowi menekankan pentingnya perhatian pada penduduk di wilayah perbatasan. Nah, salah satu bentuk perhatian tersebut diwujudkan dengan menyediakan layanan kesehatan lebih baik melalui Tim Nusantara Sehat.

Kesehatan adalah Mahkota
Ah, saya berandai-andai bisa turut menyaksikan perjuangan rekan-rekan Tim Nusantara Sehat di daerah. Ikut mengarungi sulitnya medan menuju ke lokasi, menghadapi kesulitan-kesulitan yang timbul selama menjalankan tugas, melihat langsung interaksi tim dengan warga yang dilayani, serta mengetahui tanggapan masyarakat atas program ini.
Setelah dulu menjadi saksi minimnya layanan kesehatan di pelosok, lalu melihat sendiri perjuangan Bulik saya sebagai bidan desa di wilayah terpencil, mengikuti perjalanan mulia Tim Nusantara Sehat akan melengkapi pengalaman saya. Akan saya sebarkan kabar baik ini lewat blog, melalui Twitter dan Facebook, bahwa pemerintah kini lebih peduli pada pelayanan kesehatan di daerah terpencil dan kawasan perbatasan.
Peningkatan layanan kesehatan merupakan langkah vital dalam memajukan bangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang sehat. Bukankah ada pepatah mengatakan, "Di dalam raga yang sehat terdapat jiwa yang sehat." Semoga dengan sehatnya raga membuat jiwa-jiwa bangsa Indonesia sehat, sehingga siap menyongsong kemajuan demi kemakmuran bersama.
Prioritas pada aspek kesehatan juga sejalan dengan tuntunan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis, Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah."
Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim, maka sudah semestinya mengikuti petunjuk Baginda Rasul untuk lebih menjaga dan menghargai kesehatan agar menjadi bangsa yang kuat. Sudah lama negara dengan potensi hebat ini terpuruk. Kini saatnya bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan ini hanya bisa dilakukan jika kebutuhan dasar seperti kesehatan sudah tuntas.
Sekali lagi, salut pada Kementerian Kesehatan RI di bawah kepemimpinan Ibu Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek Sp.M. yang telah menggulirkan program Nusantara Sehat. Adalah sebuah kehormatan jika saya, seorang blogger dari kabupaten kecil bernama Pemalang, dapat ikut terlibat dalam program mulia ini sekalipun hanya sebagai saksi mata.
"Kesehatan adalah mahkota yang bersemayam di atas kepala orang-orang yang sehat, yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang sakit." -- Dr. 'Aidh Al-Qarni dalam buku La Tahzan.