
BELUM lama di timeline Facebook saya muncul status menarik dari Sutirman Eka Ardhana, seorang penyair sekaligus penulis dan eks jurnalis senior Jogja. Status panjang tersebut beliau beri judul "Jurnalisme Mabuk", membahas tentang dunia pemberitaan saat ini yang menurut beliau sudah semakin memprihatinkan.
Saya mengenal Pak Eka semasa magang di sebuah koran lokal mingguan Jogja yang beliau pimpin akhir 2008 hingga awal 2009. Tahu saya mudiknya ke Jambi, Pak Eka yang asli Riau langsung merasa punya kedekatan. Ya, sama-sama Melayu. Saya memang berdarah jawa tulen, tapi lahir dan tumbuh besar di Tanah Andalas sehingga lebih kenal cara hidup orang Sumatra ketimbang Jawa.
Kembali ke Jurnalisme Mabuk dalam status Pak Eka. Yang beliau maksud dengan ungkapan demikian adalah pemberitaan di media tanpa mengindahkan etika. Berita yang menghujat, berita menjelek-jelekkan, serta berita-berita yang hanya berisi keburukan. Pak Eka mengambil contoh pers di awal Era Reformasi, tapi bukankah berita-berita semacam itu masih sering kita lihat dan baca sampai hari ini?
Saya kutip satu paragraf dari status Facebook beliau. Lebih lengkapnya silakan meluncur ke laman ini.
"Jurnalisme mabuk adalah jurnalisme yang mengabaikan etika, tatakrama arau(sic!) sopan santun pers. Jurnalisme mabuk adalah jurnalisme yang menghujat, penuh amarah, dendam, dengki, iri hati dan mengabaikan nurani."
Jurnalisme Pasar
Sontak saja ingatan saya melayang pada seorang kawan lama di Padangsidimpuan. Kawan sekelas di SMA yang meminta saya memembantunya merintis sebuah media lokal pada medio 2010. Sebuah tawaran yang sebetulnya salah sasaran karena saya bukan orang yang tepat untuk itu. Namun ia ngotot karena hanya saya dalam lingkup pertemanannya yang paham dunia jurnalistik. Saya koreksi, sedikit paham dunia jurnalistik.
(Baca juga: Merantau ke Padangsidempuan)
Niatnya membentuk media lokal tergolong nekat. Kawan saya ini tidak tahu apa-apa soal dunia penerbitan media. Ia juga bukan dari kalangan berduit. Ia malah baru saja diangkat jadi Pegawai Negeri Sipil dan berdinas di sebuah kantor kecamatan di pelosok Kabupaten Padang Lawas Utara. Padahal yang ia angan-angankan media cetak. Saran saya untuk membuat situs berita ia tolak mentah-mentah.
Meski tak begitu yakin dengan keseriusan si kawan, saya tetap mengiyakan tawarannya. Ia meminta saya tinggal di Padangsidimpuan selama tiga bulan dan mengajar sebuah kelas berisi 10-15 siswa. Setibanya saya di Padangsidimpuan, kami berdiskusi panjang-lebar soal media dan dunia jurnalistik. Tentu saja menurut pandangan kami sebagai masyarakat awam.
Dari diskusi tersebut, saya tahu bahwa teman saya ini punya kegundahan sama seperti Pak Eka. Ia risau dengan koran dan televisi yang setiap hari hanya berisi, menurut istilah dia, "berita-berita pasaran". Berita-berita tentang kejelekan atau aib orang, kriminalitas, tawuran, dan hal-hal negatif lain.
Istilah "pasaran" ia sematkan karena menurutnya media merasa berita-berita seperti itulah yang disukai pembaca. Media tentu tak mau ditinggalkan pembaca. Jadi cara terbaik untuk terus dibaca adalah dengan menurunkan berita yang sesuai keinginan pembaca, sesuai selera pasar.
Inilah yang kemudian membuatnya ingin punya media sendiri, sekecil apapun itu. Ia ingin memberitakan hal-hal baik, hanya berita-berita positif, sebab menurutnya apa yang kita lihat dan baca akan sangat mempengaruhi pikiran dan perilaku kita. Menurutnya, Indonesia jadi kacau seperti ini karena terlalu massifnya pemberitaan negatif di media.
Kawan saya juga tak percaya media harus mengikuti selera pasar. Sebaliknya, ia berkata media seharusnya berperan dalam mengedukasi pembaca dengan cara menghadirkan berita-berita lebih baik. Hadirkan berita-berita motivatif dan inspiratif, maka pembaca akan menjadi orang-orang yang penuh motivasi dan inspirasi. Demikian uraian teman saya.
Saya tidak bisa tidak menyetujui pendapatnya tersebut. Lebih jauh, pemberitaan buruk di suatu daerah bakal memberikan imej buruk bagi daerah tersebut secara keseluruhan. Ambil contoh kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun di Rejang Lebong, Bengkulu, belum lama ini. Kita yang membaca berita tersebut jadi membayangkan betapa berbahayanya dan tidak amannya Rejang Lebong dan Bengkulu secara keseluruhan.
Kita yang di luar Bengkulu dan tak begitu paham dengan daerah tersebut lantas gampang saja menempelkan imej negatif pada seluruh remaja Rejang Lebong dan Bengkulu, seolah-olah remaja-remaja tanggung pelaku kejahatan terhadap Yuyun adalah representasi mereka. Padahal bisa jadi yang tersaji di lapangan tidak seperti itu.
Good News Is A Good News
Saya percaya bukan hanya Pak Eka dan teman saya saja yang gerah dengan maraknya pemberitaan negatif akhir-akhir ini. Saya sendiri sudah tidak lagi menonton televisi kecuali untuk menyaksikan siaran langsung sepakbola, serta sesekali mengikuti program talkshow favorit. Selebihnya, saya cari tontonan di media online seperti YouTube, di mana saya bisa memilih tayangan seperti apa yang ingin saya saksikan hari itu.
Untuk siaran berita pun demikian. Saya tak lagi mengandalkan televisi, melainkan lebih suka berselancar di timeline akun Twitter media online tertentu untuk memilah berita mana yang ingin saya baca. Saya merasa tak mendapat apa-apa dari tayangan berita di televisi dewasa ini, lebih-lebih saat agenda politik tengah banyak.
Memang, masih ada media yang tampil santun dan menjunjung tinggi etika, menampilkan hal-hal positif nan inspiratif. Tapi media seperti itu bisa dihitung dengan jari. Jauh lebih banyak media yang, meminjam pendapat teman saya tadi, lebih suka mengikuti selera pasar dengan menurunkan berita-berita pasaran. Berita-berita negatif nan bombastis, sensasional.
Karenanya saya senang sekali saat mendapat informasi tentang Koalisi Online Pesona Indonesia (KOPI). Komunitas yang terdiri dari blogger dan jurnalis online ini bertekad hanya mengangkat berita-berita baik (good news) di media dan blog anggota-anggotanya. Tujuannya adalah untuk membuat citra Indonesia lebih baik di mata dunia.

KOPI berkomitmen untuk berperan aktif memberikan informasi positif tentang Indonesia, utamanya dunia pariwisata, perfilman, budaya, musik, fashion dan kuliner. Karenanya deklarasi KOPI pada November 2015 lalu mendapat dukungan dari Kementerian Pariwisata, Asosiasi Pariwisata Indonesia (Asita), dan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
"Dengan terbentuknya koalisi ini diharapkan pesona dan keindahan Indonesia, mulai dari kuliner sampai keindahan alamnya, semakin sering ditulis dan diekspose," demikian kata penggagas KOPI, Arul Arista, saat acara deklarasi di Jakarta.
Hmmm, tentu saja saya sepakat dengan ini. Saya jadi saksi hidup betapa sepinya pariwisata Jogja tak lama setelah Amrozi cs. membom Bali pada Oktober 2002. Kejadian tersebut di sebuah ruas jalan di Denpasar, namun efeknya seluruh Bali dan Indonesia mendapat cap tidak aman. Turis membatalkan rencana kunjungannya ke Bali, Indonesia masuk daftar travel warning.
Kejadian seperti ini bisa diredam dengan cara memberi counter berupa berita-berita positif tentang Indonesia. Orang di luar sana tidak banyak yang tahu kalau Bali hanyalah salah satu dari puluhan ribu pulau yang ada di Indonesia. Juga tak banyak yang paham kalau destinasi wisata di Indonesia itu tidak hanya Bali, tapi juga Jogja, Solo, Lombok, dan lain-lain dari Sabang sampai Merauke.
Di sinilah KOPI mengambil peran, dengan berkomitmen memberitakan hal-hal baik tentang Indonesia sehingga orang luar lebih tahu negeri indah ini. Berikut isi deklarasi KOPI yang hanya terdiri dari tiga poin:

Kami,jurnalis dan blogger dibawah naungan AJOIN (Aliansi Jurnalis Online Indonesia) dan Kabarindo Utama tanpa syarat dan ikatan apapun berkoalisi untuk:
1. Peduli merah putih dengan turut serta berperan aktif menginformasikan dunia pariwisata, perfilman, budaya, musik, fashion dan kuliner Indonesia yang berbasis good news.
2. Mengedepankan informasi positif mengenai pesona Indonesia untuk dunia.
3. Berupaya jadi saksi pertama kreativitas anak negeri dan akan mengapresiasi dalam bentuk tulisan persembahan untuk bangsa dan dunia.
Sebelum menulis ini saya sudah membaca tulisan kawan-kawan blogger lain yang telah bergabung dengan KOPI. Aih, cerita mereka membuat saya iri setengah mati. Ingin rasanya menjadi bagian dari komunitas ini dan memberi sumbangsih bagi negeri, berupa tulisan-tulisan positif tentang keindahan Indonesia tercinta dalam blog saya.
November nanti KOPI bakal genap berusia setahun. Sebuah acara gathering plus workshop di Jakarta sudah dirancang dan diagendakan pada 25-27 November 2016. Daftar pembicara yang direncanakan hadir bikin ngiler. Diantaranya adalah Menteri Pariwisata Arief Yahya, serta duo penulis kondang Asma Nadia dan Dewi Lestari, serta masih banyak lagi.
Sekilas, acara bertajuk "Pesta KOPI Sapa Dunia" ini sepertinya bakal berjalan seru, dan yang terpenting bermanfaat sekali bagi blogger daerah seperti saya. Jadi, boleh dong kalau saya berharap bisa ikut acara ini? Bantu bilang "amin" ya... :)