Quantcast
Channel: bungeko.com
Viewing all articles
Browse latest Browse all 271

Matinya Surat Kabar

$
0
0
PERTAMA kali ke Pemalang, pertengahan 2006, saya ingat ada dua koran daerah yang secara khusus mengambil segmen pembaca di wilayah eks Karesidenan Pekalongan. Yang pertama Radar Tegal milik Jawa Pos Group, dan koran kedua Nirmala Post milik seorang pengusaha ternama di Tegal. Eh, waktu saya menikah Agustus 2009, Nirmala Post sudah lenyap dari peredaran. Tinggallah Radar Tegal sendirian sebagai koran lokal di wilayah eks Karesidenan Pekalongan.

'Mati'-nya Nirmala Post kala itu jadi kabar buruk bagi saya. Pasalnya saya sempat berencana magang di koran tersebut selepas dari Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY), dan syukur-syukur bisa kecantol jadi wartawan tetap. Tapi apa daya, koran yang dimaksudkan untuk menyaingi Radar Tegal itu harus mundur dari persaingan di tahun ketiganya.

Setelah menikah dan berbulan madu (*halah*), saya kembali mendapati berita tentang menghilangnya satu koran di Jogja. Ya, Koran Merapi, koran kuning alias koran yang banyak memuat berita kriminal dan mistis itu diberhentikan peredarannya oleh Kedaulatan Rakyat Group per 1 September 2009. Sebagai gantinya, PT BP Kedaulatan Rakyat menerbitkan koran baru; KR Bisnis. Lucunya, umur KR Bisnis juga tak panjang. Manajemen KR Group memilih mengakhiri koran tersebut dan kembali menerbitkan Koran Merapi.

Jauh sebelumnya, mingguan Malioboro Ekspres tempat saya pertama kali mengawali jalan sebagai jurnalis sudah lebih dulu gulung tikar. Tidak berlanjutnya Malioboro Ekspres jadi semakin tragis karena koran ini terbit mingguan dan baru berusia kurang dari 6 bulan. Saya di sana sekitar 3 bulan, lalu pindah untuk magang di Harian Jogja selama dua bulan satu minggu. Sekeluarnya saya dari Harian Jogja, Pemred Malioboro Ekspres memberi kabar kalau koran itu tidak lagi terbit.

Kembali ke Pemalang, beberapa bulan belakangan terbit koran-koran baru. Saya tak ingin menyebut namanya karena bermaksud memberi kritik di sini. Beberapa eks kru Nirmala Post terlibat di dalamnya. Sayang, dari segi tampilan (layout halamannya) saja koran-koran tersebut tak menarik. Membaca beritanya jauh tidak menarik lagi. Kalau isi berita Radar Tegal yang merupakan anggota jaringan Jawa Pos Grup saja tidak membuat saya tertarik, apalagi koran-koran baru tersebut. Formatnya yang terbit dwimingguan membuat saya menebak koran ini bermodal cekak, dan tak akan berumur panjang. Eh, dugaan saya tak salah.

Sudah Diprediksi
Berjatuhannya media cetak sebenarnya sudah diprediksi banyak pengamat. Kian mahalnya harga kertas serta semakin majunya dunia Teknologi Informasi membuat media cetak susah bersaing dengan media elektronik, dan belakangan dengan media internet. Dengan segala keterbatasannya, media cetak tidak bisa mengejar kecepatan gerak media internet dan juga media elektronik.

Bagaimana bisa bersaing? Media cetak menyajikan berita kemarin, sedangkan media elektronik menyajikan berita-berita yang terjadi saat itu juga. Media internet bahkan selalu di-update setiap saat dengan berita-berita terbaru. Alhasil, hanya media cetak yang didukung modal besar serta benar-benar memiliki konsumen loyal dalam jumlah besar saja yang mampu bertahan hidup.

Fenomena ini juga pernah disampaikan seorang rekan yang jurnalis senior dalam beberapa kesempatan berbincang dengan saya. Waktu itu saya masih getol-getolnya ingin jadi jurnalis media cetak dan mengabaikan ajakannya untuk mengembangkan sebuah situs berita lokal. Tapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri keambrukan Nirmala Post, Malioboro Ekspres, dan sejumlah koran-koran lokal lain, saya jadi berubah pikiran.

Dulu saya sempat berangan-angan punya situs berita lokal. Saya pun membeli nama domain PemalangPost.com, sebagai awalan saya isi dengan berita-berita seputar Pemalang dari sejumlah koran lokal. Tapi saya kurang serius mengurus situs ini, jadi umurnya tak panjang. Entah, mungkin suatu saat saya akan memulainya lagi. Mungkin lho ya...

Viewing all articles
Browse latest Browse all 271

Trending Articles