Quantcast
Channel: bungeko.com
Viewing all articles
Browse latest Browse all 271

Asyiknya Naik KRL ke Kota Tua Jakarta

$
0
0

DARI sekian tempat menarik di Jakarta, saya paling penasaran dengan Kota Tua. Alasan pertama adalah cerita yang membungkus kawasan tersebut. Sebagai eks siswa yang dapat nilai 10 dalam pelajaran Sejarah, saya sangat menyukai cerita-cerita masa lalu. Makanya bangunan-bangunan tua di Kota Tua seperti memiliki magnet bagi saya.

Sayangnya, entah berapa kali saya ke Jakarta cuma singgah. Seringnya sih menginap semalam, baik dalam perjalanan mudik dari Pemalang ke Jambi atau pas ada jadwal ke kota-kota lain di Sumatera. Tapi sebuah rencana yang berantakan di akhir Agustus memberi berkah bagi saya.

Cerita sedikit ya. Pertengahan Agustus lalu saya diajak mengunjungi kebun buah di Lampung. Beberapa hari sebelum berangkat, datang tawaran untuk menghadiri sebuah acara blogger di Jogja. Ada fee-nya tentu saja, kalau tidak saya bakal berhitung ikut acara blogger sampai ke sana. Hehehe...

Saya menyanggupi datang walaupun waktunya terhitung mepet dengan jadwal saya ke Lampung. Tanggal 24-25 Agustus di Lampung, acara di Jogja tanggal 26 Agustus. Saya pun menyusun rencana. Pulang dari Lampung, saya akan langsung terbang ke Jogja. Menginap semalam, baru besoknya ikut acara yang diadakan oleh sebuah bank beken tersebut.

Maka saya siapkan semua yang terkait dengan rencana tersebut, termasuklah tiket pesawat Jakarta-Jogja. Saya sengaja tidak memesan hotel karena ada beberapa saudara yang bisa ditumpangi. Ngirit, kalau nggak nanti fee-nya cuma habis buat tiket pesawat dan hotel. Istri saya nggak kebagian jatah dong?

Oke, clear. Perjalanan pun saya mulai dari Stasiun Pemalang, dengan tujuan Jakarta. Naik kereta api Tawang Jaya, estimasi saya bakal sampai di Stasiun Pasarsenen sekitar jam setengah sembilan malam. Perjalanan lancar. Saya sudah merancang-rancang, begitu sampai Senen langsung ambil KRL ke Tanah Abang dan lanjut ke Palmerah.

Eh, sampai Stasiun Jatinegara saya dapat SMS, "Mas, acara yang di Jogja diundur entah sampai kapan. Mas Eko ikut yang di Semarang aja ya tanggal 28. Brief-nya dikirim lewat email." Saya tertawa geli dan cuma bisa jawab, "Oke, Mbak. No problem."


Family Time
Apa boleh buat, rencana pun berubah. Malam itu juga saya cancel tiket Jakarta-Jogja. Pulang dari Lampung, saya tidak langsung balik ke Pemalang. Salah satu faktornya tidak ada lagi tiket tersisa untuk tanggal 25 Agustus malam. Tanggal 26-nya ada, tapi tanggung sekali rasanya kalau saya sampai Pemalang tanggal 27 pagi, terus tanggal 28 sudah pergi lagi ke Semarang.

Setelah diskusi singkat dengan istri via SMS, saya memutuskan tetap di Jakarta sampai tanggal 27. Kontrakan adik saya di Palmerah jadi base camp, dengan adik saya satunya lagi yang kuliah di Bogor jadi teman. Ini family time yang tidak direncanakan sebelumnya, jadi kami merasa senang sekali. Terakhir kali kami berkumpul seperti ini sewaktu mudik lebaran tahun 2014 di Jambi.

Kamipun merancang rencana mau pergi kemana. "Mumpung di Jakarta, mana tempat yang Kakak mau kunjungi?" begitu kata adik perempuan saya yang jadi tuan rumah. Just info, saya dipanggil "kakak" oleh adik-adik karena kami lahir dan menghabiskan seluruh masa kecil di Palembang. Di Kota Pempek, itu panggilan untuk saudara laki-laki yang lebih tua.

Tanpa pikir panjang saya menyebut Kota Tua. "Oh, masih penasaran sama kerak telor to?" Tanya adik perempuan saya lagi. Rupanya dia ingat saya pernah menulis tentang makanan satu ini lima tahun lalu.

Oke, Sabtu pagi nan cerah di penghujung Agustus itupun kami berangkat ke Kota Tua. Kami sengaja memilih naik angkutan umum agar lebih santai di jalan. Jadi benar-benar mau menikmati perjalanan. Kalau bicara hemat sih, terutama hemat waktu, lebih mending naik sepeda motor sendiri.

Dari kontrakan kami naik angkot Tanah Abang-Slipi, turun di Pasar Palmerah. Lalu menyeberang jalan dan menuju ke Stasiun Palmerah. Stasiun lengang pagi itu. Maklum, sudah jam kerja. Kalau saja kami berangkat lebih pagi tentu bakal melihat keramaian stasiun yang dipenuhi pegawai kantoran.

Karena sepi, kami bisa langsung memesan tiket di vending machine tanpa harus antri. Ongkos KRL alias commuterline dari Palmerah ke Jakarta Kota cuma Rp2.000, murah sekali! Tapi saat membeli tiket harus menyerahkan jaminan untuk kartu sebesar Rp10.000. Jaminan ini bisa diambil setelah mengembalikan kartu di stasiun tujuan.

Sempat salah platform, kami tak perlu menunggu lama karena kereta tiba tak sampai 10 menit berselang. Dari Palmerah ke Jakarta Kota kami harus transit dua kali. Transit pertama di Tanah Abang, lalu di Manggarai. Entah apa yang terjadi kami menunggu lebih dari setengah jam di Stasiun Tanah Abang. Stasiun pun jadi penuh sesak karena penumpang menumpuk.



Saya manfaatkan waktu menunggu itu untuk berfoto-foto dan mengambil video dengan handphone ASUS Zenfone C saya. Yap, tentu saja langsung upload ke media sosial. Contohnya foto di Instagram di atas. Untuk apa lagi memangnya? Hehehehe.

Di Stasiun Manggarai kembali kami harus menunggu lama, tapi tak sampai setengah jam. Kata adik saya yang biasa naik KRL Bogor-Jakarta, di stasiun-stasiun transit seperti Manggarai kereta memang lebih lama datang. Saya tidak tanya apa penyebabnya.

Foto-Foto di Museum Bank Indonesia
Sampai di Stasiun Jakarta Kota sudah menjelang tengah hari. Perut mulai lapar. Tadi pagi kami cuma minum teh dan makan roti. Okelah, kita makan siang dulu. Di dekat air mancur dalam terowongan penyeberangan orang itu terdapat gerai Soto Lamongan Kota. Ke sanalah kami menuju. Warungnya ramai. Kami beruntung sekali bisa dapat meja kosong.

Habis makan siang adik ipar pisah jalan karena ada janji dengan seseorang di tempat lain. Okelah, perjalanan ke Kota Tua kami lanjutkan bertiga.

Naik ke atas - terowongannya di bawah tanah, saya sudah dibuat terkagum-kagum oleh satu bangunan bergaya kolonial tepat di pintu keluar terowongan. Ya, Museum Bank Mandiri. Saya langsung noni-noni Belanda berpakaian panjang putih memakai payung berseliweran di sana. Pulang belanja dari Pasar Asemka mungkin? Di tahun-tahun 1900-an kawasan ini pasti penuh dengan orang berkulit putih.

Bersebelahan dengan Museum Bank Mandiri ada bangunan peninggalan kolonial lainnya, Museum Bank Indonesia. Kalau Museum Bank Mandiri cuma kami lewati, di Museum Bank Indonesia kami berbelok dan masuk ke halamannya. Tepat sekali! Untuk apalagi kalau bukan... selfie dan wefie dengan background gedung tersebut.

Hari itu perlengkapan foto-foto saya terhitung komplit. Saya bawa satu kamera digital dan satu action cam, ditambah hape ASUS Zenfone C. Untuk keperluan update di sosial media, saya pilih mengambil foto pakai hape karena lebih praktis. Kalau foto-foto di kamera kan musti dipindah dulu ke hape. Butuh waktu lebih lama.



Memang sih kamera digital saya sudah ada wifi-nya, jadi pindah file foto tidak perlu bongkar memory card. Tapi tetap saja lebih repot dan makan lebih banyak waktu. Lagipula ASUS Zenfone C saya sangat bisa diandalkan kok untuk foto-foto di siang hari bolong. Sejauh ini saya belum pernah dikecewakan oleh hape tersebut untuk urusan ambil foto.

Saya sudah memakai smartphone ini sejak menghadiri Musi Triboatton 2016 di Palembang, Mei lalu. Waktu itu saya malah belum punya kamera digital dan action cam. Jadi, seluruh foto dokumentasi saya selama di Kota Pempek diambil menggunakan ASUS Zenfone C. Termasuk foto bareng pramugrari berhijab di dalam pesawat Nam Air. ^_^

Puas berfoto di pelataran Museum Bank Indonesia, kami lanjutkan perjalanan ke Kota Tua. Adik perempuan saya sempat menawarkan masuk ke dalam museum, lihat-lihat koleksi uang. Sebagai eks numismatis dan pedagang uang lama sebenarnya itu tempat menarik dikunjungi, tapi saya mau fokus hanya ke Kota Tua. Lain kali saja saya bakal seharian mengubek-ubek Museum BI.

Panas-panasan di Kota Tua
Sampai di pojokan Jl. Bank, kami menyeberang di sela-sela berbagai macam kendaraan yang memadati jalan. Di seberang jalan tanda-tanda kawasan kuno semakin terlihat. Jalan yang saya tapaki terbuat dari batu-batu berbentuk kotak besar. Lalu di kiri kanan terdapat bangunan-bangunan eksotis bergaya Eropa abad pertengahan.

Ah, saya benar-benar serasa kembali ke jaman Hindia Belanda. Kembali bayangan noni-noni Belanda berpakaian putih dengan topi lebar bercadar dan membawa payung melintas di kepala. Eh, ternyata bayangan noni Belanda itu ada yang mewujudkan, berjejer dengan seorang laki-laki berdandan ala pejuang.

Saya sebenarnya mau foto bareng, tapi yang mengerubuti si Noni banyak sekali. Ya udah, melipir deh. Kami lanjutkan langkah. Saya berhenti sejenak di depan gedung bertulisan Djakarte, kembali dibuat terpana oleh bangunan tua tersebut. Saya bayangkan noni dan sinyo Belanda duduk-duduk bercengkerama di bawah payung-payung besar yang berjejer di halaman.

Akhirnya, sampailah kami di pelataran Kota Tua. Yeay! Saya senang sekali bisa sampai di sana. Apalagi yang saya dan adik-adik lakukan kalau bukan berfoto-foto dengan latar belakang gedung eks Gouverneurs Kantoor? Tanpa malu-malu saya juga membuat donut selfie. Ya, peduli amat orang Amat juga nggak peduli. Hehehe...





Satu hal yang agak disayangkan, sepertinya kami salah waktu. Kami sampai di Kota Tua setelah makan siang, sekitar jam setengah satu. Panasnya jangan ditanya. Mana saya tidak bawa topi, demikian juga adik-adik. Mana bekal minum yang kami beli di Stasiun Jakarta Kota sudah habis pula.

Karena kepanasan, kami tidak sampai menyewa sepeda dan berkeliling halaman Gouvernuers Kantoor. Selesai foto-foto dan mengambil video, kami jalan lebih ke tengah dan foto-foto lagi. Panas semakin terasa, keringat bercucuran. Secara naluriah kami menuju ke salah satu sudut yang ada pohon-pohon kecil untuk berteduh.

Saya jadi ingat event Jakarta Night Journey yang diadakan Indonesia Corners belum lama ini. Sesuai namanya, di event ini peserta diajak berjalan-jalan menyusuri Jakarta di malam hari. Salah satu destinasinya kawasan Kota Tua ini, selain Monas dan Balaikota. Wah, pasti asyik ya mengunjungi Kota Tua di malam hari. Yang jelas tidak kepanasan.

Sayang sekali saya tidak bisa mengikuti event tersebut. Tapi kalau tahun depan diadakan lagi, saya bakal menyempatkan diri ikut serta. Saya ingin tahu suasana Kota Tua dan juga Jakarta di malam hari. Pasti nuansanya berbeda dengan mengunjungi di siang hari. Lebih eksotis, lebih syahdu.

Balik lagi ke saya dan adik-adik yang kepanasan. Akhirnya kami memesan taksi online untuk pulang ke Palmerah. Kenapa nggak naik KRL lagi? Menghemat waktu, karena lepas Isya saya harus ke Stasiun Pasarsenen untuk menuju Semarang. Sembari menunggu mobil pesanan datang kami masuk ke minimarket di dekat Cafe Batavia. Beli minuman. Haus!

Tak lama berselang taksi online pesanan kami datang. Kami langsung naik ke mobil dan meninggalkan Kota Tua. Belum puas sebenarnya. Lain kali saya mau datang lagi ke sini, mengeksplorasi lebih banyak, juga berfoto selfie dan merekam video lebih banyak. Belajar dari pengalaman, sebaiknya saya datang menjelang sore ya saja biar tidak kepanasan.

“Tulisan ini diikutsertakan dalam Jakarta Night Journey Blog Competition oleh Indonesia Corners yang di Sponsori oleh Asus Indonesia”

Viewing all articles
Browse latest Browse all 271

Trending Articles