
TIDORE diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum. Demikian ungkapan kekaguman Juan Sebastian Elcano, kapten kapal Victoria asal Spanyol, saat mendarat di pulau yang kaya akan rempah-rempah tersebut. Hingga kini kalimat Elcano masih terus dikutip untuk menggambarkan keindahan alam Tidore nan mengagumkan.
Elcano adalah pelaut pertama yang berhasil mengelilingi dunia. Ia bergabung dalam ekspedisi Fernão de Magalhães (Fernando de Magallanes, Ferdinand Magellan) sebagai bentuk permohonan maaf pada Raja Charles V. Elcano melanggar hukum karena menyerahkan kapalnya untuk membayar hutang.
Tim ekspedisi Magalhães ke Islas de las Especias (Kepulauan Rempah-Rempah) terdiri dari lima kapal: Concepcion, San Antonio, Santiago, Trinidad, dan Victoria. Sebanyak 241 pelaut berpartisipasi dalam rombongan ini.
Berangkat dari Sevilla pada 10 Agustus 1519, tim ekspedisi Magalhães berlayar ke arah barat daya, melalui pantai barat dan selatan Amerika Selatan, mengarungi Samudera Pasifik, singgah di Guam, Kepulauan Filipina, Brunei, dan tiba di Tidore pada 8 November 1521.
Sebuah pelayaran panjang yang tak mudah. Kapal Santiago hancur dihantam badai di Samudera Atlantik. Lalu kru kapal San Antonio memberontak dan kembali ke Spanyol saat rombongan tiba di Argentina. Saat berada di Filipina, tim ekspedisi terlibat konflik dengan penduduk setempat. Magalhães terbunuh pada 27 April 1521.
Kematian Magalhães membuat kepemimpinan ekspedisi terpecah. Duarte Barbosa dan João Serrão akhirnya disepakati sebagai duo pemimpin. Namun keduanya kemudian juga terbunuh dalam sebuah pertikaian melawan Rajah Humabon. João Lopes de Carvalho mengambil alih kepemimpinan dan membawa eskpedisi meninggalkan Kepulauan Filipina.

Dalam perjalanan dari Filipina menuju Kepulauan Maluku kru kapal mengangkat Elcano sebagai pemimpin setelah Carvalho dinilai tidak cakap. Rombongan yang tinggal tersisa dua kapal, Victoria dan Trinidad, inilah yang kemudian mendarat di Tidore.
Rivalitas Mertua-Menantu
Sultan Al Mansyur tengah bertahta di Kesultanan Tidore saat ekpedisi Elcano mendarat di Pelabuhan Rum. Kedatangan pelaut-pelaut Spanyol ini disambut baik oleh Sultan. Total rombongan ekspedisi tinggal tersisa sekitar 75 orang saat itu, sebagian besar merupakan kru kapal Trinidad yang dikapteni Carvalho.
Kedatangan Elcano dan ekspedisinya mengawali interaksi Tidore dengan bangsa Eropa. Pelaut-pelaut Spanyol itu merupakan armada Eropa kedua yang menginjakkan kaki di Kepulauan Maluku, setelah kedatangan bangsa Portugis di Hitu sembilan tahun sebelumnya.
Semakin memburuknya hubungan dengan Kesultanan Ternate membuat Sultan Al Mansyur merasa perlu menjalin kerja sama dengan Elcano. Ini sebagai balasan menyusul langkah Sultan Bayanullah yang menolong ekspedisi Francisco Serrão, kawan baik Magalhães, dan membangun aliansi Ternate-Portugis sejak 1512.
Hubungan mesra Ternate-Portugis diperkuat dengan pembangunan benteng di barat daya Ternate, Benteng São João Baptista de Ternate yang sekarang dikenal sebagai Benteng Kastella. Posisi benteng ini sangat strategis untuk mengawasi Kesultanan Tidore, dan jaraknya terhitung dekat dengan Pulau Maitara maupun Pelabuhan Rum sebagai pintu masuk Tidore.
Elcano sendiri hanya tinggal sebulan di Tidore. Setelah memenuhi kapal Victoria dengan cengkeh dan pala, ia kembali ke Spanyol bersama 21 kru. Namun keberadaan bangsa Spanyol di Tidore tetap bertahan setelah Carvalho dan 52 anak buahnya memilih tinggal. Kapal Trinidad miliknya bocor dan tak bisa diperbaiki sehingga Carvalho memilih menunggu.
1 Januari 1527, ekspedisi yang dipimpin Garcia Jofre de Loaísa mendarat di Tidore membawa sejumlah besar pasukan Spanyol. Setahun berselang, tepatnya 30 Maret 1528, satu ekspedisi Spanyol kembali mendarat di Tidore. Ekspedisi yang dipimpin Álvaro de Saavedra ini sengaja dikirim Kerajaan Spanyol untuk mencari kapal-kapal Ekspedisi Loaísa yang hilang.
Sebenarnya aliansi Tidore-Spanyol dipenuhi kecurigaan satu sama lain. Akan tetapi Tidore membutuhkan kehadiran Spanyol untuk menandingi kekuatan Ternate. Tidore sudah lama ingin keluar dari bayang-bayang Ternate sebagai produsen cengkeh terbesar di Kepulauan Maluku.

Persaingan kedua kesultanan bertetangga ini dituliskan sejarawan Universitas Hawaii Leonard Andaya sebagai tema utama sejarah Maluku. Sekalipun bertetangga dekat, relasi Ternate dan Tidore tak sepenuhnya baik terkait persaingan dagang rempah-rempah dengan bangsa asing (pedagang-pedagang Jawa, Melayu, dan Arab, sebelum kedatangan bangsa Eropa).
Di lain pihak, Spanyol harus bertahan di Tidore demi mengamankan suplai rempah-rempah ke Eropa. Spanyol bahkan memendam hasrat untuk merebut Ternate dari tangan Portugis. Selama bertahun-tahun kedua kekuatan saling intai, namun masih sama-sama menahan diri dari konflik bersenjata.
Yang menarik dari rivalitas Ternate-Tidore ini, Sultan Al Mansyur merupakan mertua Sultan Bayanullah. Permaisuri Kesultanan Ternate, Sultana Nukila, adalah puteri Sultan Al Mansyur. Dari rahim sang permaisuri inilah kelak lahir penerus Sultan Bayanullah, Sultan Hidayatullah alias Sultan Dayalu.
Ditaklukkan Portugis
Wafatnya Sultan Bayanullah pada 1522 mengubah peta kekuatan. Sultan Hidayatullah masih terlalu muda saat diangkat sebagai penerus tahta Ternate. Usianya enam tahun, sehingga diangkatlah Wali Raja untuk menggantikan perannya sampai ia cukup umur. Pemerintahan Ternate kemudian dikendalikan oleh Sultana Nukila dan Pangeran Taruwese, adik Sultan Bayanullah.
Kondisi ini dimanfaatkan baik-baik oleh Portugis untuk memecah Kesultanan Ternate demi menguatkan pengaruhnya di Kepulauan Maluku. Selain mengadu domba Sultana Nukila dengan Pangeran Taruwese, Portugis juga berhasil membujuk Ternate untuk menyerang Tidore pada 1524.
Sebanyak 600 tentara gabungan Ternate dan Portugis mendarat di Tidore dan masuk hingga ke Mareku, ibukota kesultanan. Namun serangan ini tidak mampu menaklukkan Tidore. Sebaliknya, Tidore dengan dukungan Spanyol berhasil memukul mundur pasukan Ternate-Portugis.
Kontak senjata antara Ternate dan Tidore kembali pecah tak lama setelah Sultan Al Mansyur mangkat tanpa meninggalkan penerus pada 1526. Satu-satunya keturunan yang berhak atas tahta Tidore adalah cucunya, Sultan Hidayatullah, yang sudah diangkat sebagai Sultan Ternate.
Sultana Nukila melihat ini sebagai peluang untuk menyatukan Tidore dan Ternate di bawah kepemimpinan puteranya. Namun ide tersebut tentu saja ditolak Portugis. Portugis merapatkan hubungan dengan Pangeran Taruwese. Wali Raja ini dijanjikan dukungan penuh bila berhasil merebut tahta Ternate.

Perang saudara pun pecah. Kubu Pangeran Taruwese yang didukung Portugis berusaha merebut tahta Ternate dari tangan Sultan Hidayatullah yang didukung aliansi Tidore-Spanyol. Sultan Hidayatullah tewas. Pangeran Taruwese naik tahta, namun tak lama kemudian terbunuh dalam pemberontakan yang berujung naiknya Sultan Abu Hayat II, adik kandung Sultan Hidayatullah.
Perpecahan elite di Ternate membuat kekuatan Portugis semakin menancap dalam. Hal ini mengancam Kesultanan Tidore yang sebenarnya sudah lama masuk incaran Portugis. Perjanjian Zaragoza antara Raja Portugal John III dan Raja Spanyol Charles V pada tahun 1529 semakin mempertegas kedudukan Portugis di Maluku. Dalam perjanjian tersebut Raja Charles V bersedia menyerahkan Maluku pada Kerajaan Portugal.
Di tahun yang sama, putera bungsu Sultan Al Mansyur yang bernama Amiruddin Iskandar Zulkarnaen dilantik sebagai Sultan Tidore berikutnya. Di masa pemerintahannya Portugis kembali datang menyerang. Tidore berhasil ditaklukkan pada 21 Desember 1536, yang berujung pada hak monopoli perdagangan rempah sepenuhnya bagi Portugis.
Spanyol sempat berusaha mempertahankan Tidore, akan tetapi pasukan yang dibawa ekspedisi Ruy López de Villalobos menyerah pada tentara Portugis di tahun 1545. Dengan demikian Portugis menjadi penguasa tunggal di kawasan Maluku Kie Raha karena Kesultanan Bacan dan Jailolo juga sudah mereka taklukkan. Portugis memusatkan kekuatannya di Ternate.
Masuknya VOC-Belanda
Begitu berkuasanya Portugis sehingga sultan-sultan Ternate yang membangkang ditangkap dan diasingkan. Sultan Abu Hayat II dibuang ke Malaka, Sultan Tabariji dibuang ke Goa, dan Sultan Khaerun Jamil alias Sultan Hairun dibunuh di Benteng São Paulo.
Kematian Sultan Hairun membangkitkan amarah rakyat Ternate. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, perjuangan heroik rakyat Ternate sukses mengusir habis Portugis secara memalukan dari pulau tersebut pada 1575.
Portugis lari ke Ambon dan Tidore. Tahun 1578, mereka membangun benteng baru yang dinamai Forte dos Reis Magos de Tidore sebagai basis kekuatan. Dua tahun berselang, Spanyol dan Portugis membentuk aliansi di Maluku sehingga kekuatan kedua kerajaan saling membantu. Semua benteng Portugis dan Spanyol di seluruh kawasan Maluku Kie Raha dapat digunakan pasukan kedua kerajaan.
Demi membantu mengembalikan kekuasaan Portugis atas Ternate, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila berkali-kali mengirimkan armada bantuan. Menanggapi serangan ini Ternate menjalin kerja sama dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dagang yang diberi kekuasaan otonom oleh Kerajaan Belanda untuk mengeksplorasi Hindia Timur.
Babak baru sejarah Kepulauan Maluku pun dimulai.

Portugis dengan dukungan Spanyol di Manila menjadikan Tidore sebagai basis militer menghadapi kekuatan Ternate-VOC. Pada 19 Mei 1605, pasukan VOC berhasil merebut Benteng Reis Magos. Spanyol membalas dengan mengirimkan pasukan dari Manila. Armada perang ini dipimpin langsung oleh Gubernur Filipina, Pedro de Acunha.
Pada 26 Maret 1606, Spanyol dibantu prajurit Tidore merebut kembali Benteng Reis Magos. De Acunha yang mendapat dukungan Sultan Fola Madjino alias Sultan Zainuddin juga sukses mengusir tentara VOC dari Benteng Gamlamo di Ternate. VOC tidak mau pergi dari Ternate, dan sebaliknya mendirikan Fort Oranje hanya beberapa kilometer dari benteng Spanyol.
Sejak itu Maluku Kie Raha, dengan Ternate dan Tidore sebagai pusatnya, dikuasai dua kekuatan asing: Spanyol dan VOC. Namun perlahan-lahan kekuasaan VOC semakin kuat, sampai pada puncaknya menjadi kekuatan tunggal pada Juni 1663. Ini menyusul keputusan Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Manrique de Lara, menarik seluruh armadanya dari Maluku untuk menghadapi serangan bajak laut Tiongkok.
Praktis, kekuatan Tidore melemah. Hal ini memaksa Sultan Gorontalo alias Sultan Saifudin meneken perjanjian dengan Gubernur Jenderal VOC Cornelis Janzoon Speelman pada 13 Maret 1667. Inti perjanjian tersebut adalah pengakuan kedaulatan Kesultanan Tidore oleh VOC, dan pemberian hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Tidore kepada VOC.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore pada masa itu meliputi sebagian besar Pulau Halmahera, Raja Ampat, dan bagian kepala burung Pulau Papua. Perjanjian dengan VOC terus bertahan hingga beberapa sultan berikutnya, dengan catatan bertambah kuatnya pengaruh Tidore atas VOC ketika Sultan Syaifudin (Kaicil Golafino alias Jou Kota) bertahta.
Perlawanan Sultan Nuku
Kendati terikat dalam perjanjian monopoli dagang dengan VOC, Kesultanan Tidore adalah wilayah berdaulat penuh. Sultan-sultan Tidore tak sekalipun meminta bantuan VOC untuk menyelesaikan urusan kesultanan. VOC tetap dibiarkan berada di "luar pagar" dan tak sekali-kali diijinkan ikut campur.
Namun masa-masa tersebut segera berlalu. Keputusan Gubernur Jenderal VOC di Batavia yang memberlakukan Hongitochten memperlemah kekuatan Kesultanan Tidore, juga kesultanan-kesultanan lain di Maluku Kie Raha.
Tidore ikut meneken perjanjian Hongitochten dengan VOC, sehingga pasukan VOC secara leluasa membabat habis tanaman cengkeh dan pala di wilayah Kesultanan demi menjaga stabilitas harga.
Perjanjian Hongitochten serta monopoli VOC membuat kemakmuran Kesultanan Tidore menurun. Sekalipun VOC memberi imbalan (recognitie penningen) sejumlah tertentu kepada Kesultanan, angkanya jauh lebih kecil dari ketika produksi cengkeh dan pala berlimpah.
Hingga 1797, sultan-sultan Tidore dibuat tak berdaya di bawah monopoli VOC. Kesultanan nyaris bangkrut. VOC bahkan berani menangkap Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin dan mengasingkannya ke Batavia pada 1776. Secara sepihak VOC mengangkat Kaicil Gay Jira sebagai sultan, yang kemudian diteruskan putranya, Patra Alam alias Sultan Badaruddin.
Tindakan sewenang-wenang VOC ditentang keras Pangeran Muhammad Amiruddin (Kaicil Paparangan) dan Pangeran Hairul Alam Kamaluddin (Kaicil Asgar), dua putera Sultan Jamaluddin. Namun tentu saja VOC tidak peduli. Pangeran Kamaluddin ditangkap dan diasingkan ke Sri Lanka. Sedangkan upaya VOC menangkap Pangeran Amiruddin gagal karena telah terlebih dahulu meninggalkan Tidore

Pangeran Amiruddin membangun armada perang di Kepulauan Papua untuk menyerang VOC. Tahun 1781, Pangeran Amiruddin memproklamirkan diri sebagai Sultan Tidore dengan gelar Sri Maha Tuan Sultan Amir Muhammad Saifuddin Syah. Di saat bersamaan sultan yang oleh pasukannya lebih akrab dipanggil Sultan Nuku ini menyatakan perang terhadap VOC.
VOC merespon aksi ini dengan mengirim pasukan untuk menangkap Sultan Nuku. Perang pun pecah. Pasukan VOC sepertinya bakal menang, namun tak berhasil menangkap Sultan. Tahun 1783, VOC kembali mengirim pasukan. Kali ini Sultan Nuku menunjukkan kekuatannya dengan membunuh komandan dan sebagian besar tentara VOC.
Oktober 1783, pasukan Sultan Nuku menyerang sebuah benteng VOC di Tidore dan membunuh semua orang Eropa di dalamnya. VOC marah luar biasa. Kesultanan Ternate dihubungi untuk membantu memerangi Sultan Nuku. Hubungan Ternate-Tidore memanas.
November di tahun yang sama, VOC menarik pulang Pangeran Kamaluddin dan mengangkatnya sebagai Sultan Tidore. Dengan demikian Kesultanan Tidore memiliki dua sultan dalam waktu bersamaan. Begitu naik tahta Sultan Kamaluddin dipaksa meneken perjanjian yang menguntungkan VOC.
Pada 1787, VOC berhasil menaklukkan markas Sultan Nuku di Pulau Seram. Akan tetapi Sang Sultan sudah terlebih dahulu pindah ke Pulau Gorong dan kembali membangun pasukannya. Sultan juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Britania yang diwakili Kapten Thomas Forrest. Dengan persenjataan bantuan Kerajaan Britania, Sultan Nuku berhasil memukul pasukan VOC.
Kerepotan menghadapi perlawanan Sultan Nuku, VOC mencoba mengajak berunding dengan menawarkan posisi di kesultanan. Tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Sultan Nuku. Alih-alih berdamai, ia justru meningkatkan serangan terhadap VOC yang dibantu pasukan Tidore di bawah pimpinan Sultan Kamaluddin.
Februari 1795, putera Sultan Nuku yang bernama Abdulgafur memimpin sepasukan besar ke Tidore. Setahun berselang Sultan berhasil merebut Pulau Banda. Tahun berikutnya, setelah mengepung Pulau Tidore dengan 79 kapal ditambah satu kapal Kerajaan Britania, pasukan Sultan Nuku berhasil merebut kekuasaan Tidore pada 12 April 1797.

Vacuum of Power
Usai membersihkan istana dari kaki tangan musuh, Sultan Nuku mengusir VOC dari Ternate pada 1801. VOC sendiri sebenarnya sudah dibubarkan pada Desember 1799. Sementara Kerajaan Belanda berada di bawah kekuasaan Prancis yang dikomando Napoleon Bonaparte.
Akibat serangan tersebut Raja Willem V melarikan diri ke Inggris dan menetap di sana selama beberapa waktu. Sebagai imbalan, Raja Willem V menyerahkan daerah-daerah jajahannya pada Kerajaan Britania. Inilah sebabnya Inggris sempat berada di Nusantara selama beberapa tahun.
Wilayah-wilayah tersebut baru dikembalikan kepada Belanda setelah kedua kerajaan meneken Perjanjian London pada 13 Agustus 1814. Perjanjian ini sekaligus mengembalikan kekuasaan bangsa Belanda di Bumi Nusantara. Jika dulu di bawah sebuah perusahaan swasta bernama VOC, kali ini di bawah Kerajaan Belanda.
Sepeninggal Sultan Nuku pada 14 November 1805, Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin. Hanya bertahta lima tahun, Sultan Zainal Abidin digantikan oleh Sultan Motahuddin Muhammad Tahir yang naik singgasana pada 1810.
Kondisi yang cenderung damai di era Sultan Tahir membuat rencana pembangunan Kadato (Istana Sultan) baru kembali muncul. Atas persetujuan semua pihak, Sultan Tahir memulai pembangunan Kadato di Soasio pada 1812. Istana yang kelak dinamai Kadato Kie inilah yang hingga hari ini menjadi kediaman Sultan Tidore.
Sembari menunggu pembangunan istana selesai, dibangunlah istana sementara yang dinamai Kadato Tui atau Kadaton Bambu. Di istana kecil ini Sultan Tahir memerintah hingga wafat pada 1821. Beliau tidak sempat menyaksikan istana yang dibangunnya rampung.
Sultan Ahmadul Mansyur Sirajuddin Syah yang naik tahta pada 1821 juga tak sempat meninggali istana rancangan Sultan Tahir. Pembangunan Kadato Kie yang dilakukan secara bertahap memakan waktu 50 tahun. Istana tersebut baru rampung di masa pemerintahan Sultan Ahmad Syaifuddin Alting (1856-1892) pada tahun 1862.
Sejak itu sultan-sultan Tidore menempati Kadato Kie sebagai kediaman sekaligus pusat pemerintahan.

Keberadaan Kadato Kie sebagai simbol kedaulatan Kesultanan Tidore rupanya membuat Belanda tidak senang. Setelah menahan diri di masa pemerintahan Sultan Ahmad Fatahuddin Nur Syah (Kaicil Jauhar Alam) yang hanya bertahta empat tahun, Belanda mulai berulah ketika Sultan Achmad Qawiyuddin Alting alias Sultan Syahjuan naik tahta.
Kekuasaan Sultan Qawiyuddin terus dirongrong oleh Belanda. Sampai pada puncaknya ketika Sultan mangkat di tahun 1905, Tidore diubah menjadi kota swapraja. Belanda tidak mengijinkan penobatan sultan baru, sehingga menyulut perebutan tahta di kalangan keluarga Kesultanan.
Konflik internal ini membuat posisi Sultan Tidore lowong selama kurang-lebih 42 tahun. Akibatnya, Kadato Kie terbengkalai dan rusak parah. Hancur total di tahun 1912. Kesultanan Tidore seolah menghilang dari muka bumi.
Tidore untuk Indonesia
Kesultanan Tidore baru memiliki pemimpin kembali setelah Republik Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta. Hengkangnya Belanda dari Tidore membuat tidak ada lagi pihak asing yang campur tangan pada urusan internal Kesultanan. Sultan Zainal Abidin Syah kemudian dinobatkan sebagai pewaris tahta pada 15 Januari 1947.
Di Jakarta, Republik Indonesia membentuk delapan provinsi di eks wilayah Hindia Timur. Tidore digabungkan dalam Provinsi Maluku dengan gubernur pertama Johannes Latuharhary.
Soekarno lalu berjuang menyatukan Nieuw Guinea (Papua) ke dalam RI. Tidore dilibatkan dalam perjuangan integrasi ini mengingat Papua merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore sejak ratusan tahun lalu. Untuk keperluan ini Soekarno mengunjungi Tidore dan menanyakan sikap Kesultanan.

Kesultanan Tidore adalah sebuah negeri berdaulat yang selalu berusaha mempertahankan kemerdekaannya dari cengkeraman bangsa Eropa sejak ratusan tahun lalu. Tak salah bila, seandainya, Sultan Zainal Abidin Syah menetapkan Kesultanan Tidore sebagai sebuah wilayah merdeka terpisah dari Republik Indonesia.
Namun, rasa senasib sepenanggungan sebagai sesama bekas koloni Belanda membuat Sultan memutuskan sebaliknya. Beliau menetapkan Kesultanan Tidore sebagai bagian dari Republik Indonesia. Soekarno merespon sikap tersebut dengan membentuk Provinsi Perjuangan Irian Barat dengan ibukota Soasio pada 16 Agustus 1956.
23 September 1956, Sultan Zainal Abidin Syah diangkat sebagai Gubernur Sementara Irian Barat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 142/ Tahun 1956. Pelantikan dilakukan langsung oleh Presiden Soekarno di Bali.
Integrasi Papua berjalan sesuai rencana. Kerajaan Belanda mengakui wilayah Republik Indonesia meliputi Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua, yang oleh Soekarno disebut Irian Barat. Sultan Zainal Abidin Syah kemudian ditetapkan sebagai gubernur pertama Provinsi Irian Barat pada 4 Mei 1962.
Sultan Zainal Abidin Syah mangkat di Ambon pada 4 Juli 1967. Kembali terjadi kekosongan kekuasaan di Kesultanan Tidore selama puluhan tahun. Sampai akhirnya Sultan Haji Djafar Syah dinobatkan pada tahun 1999, dan kini diteruskan oleh Sultan Haji Husain Syah.
Tidore Kini
Apa yang dilakukan Sultan Zainal Abidin Syah mengingatkan saya pada keputusan Sultan Hamengku Buwono IX. Begitu Republik Indonesia merdeka, Sultan HB IX lewat maklumatnya bertanggal 5 September 1945 menetapkan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bagian dari RI.
Perbedaannya, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat mendapat status Daerah Istimewa setingkat provinsi. Sempat berpuluh-puluh tahun mengambang, status tersebut akhirnya disahkan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Salah satu poin penting dalam UU tersebut adalah penetapan gubernur dan wakil gubernur DI Yogyakarta. Secara otomatis jabatan gubernur dan wakilnya diisi oleh Sultan Kraton Ngayogyakarta dan Adipati Pakualaman yang tengah bertahta.
Kesultanan Tidore sebaliknya. Dari berstatus ibukota Provinsi Irian Barat, Pemerintah RI menurunkan status Tidore menjadi kawedanan (setingkat kabupaten) dalam Provinsi Maluku. Lalu Tidore dimasukkan dalam Daerah Administratif Halmahera Tengah dengan ibukota Soasio. Undang-Undang No. 6 Tahun 1990 menetapkan Halmahera Tengah sebagai daerah otonom setingkat kabupaten.

Gairah pemekaran wilayah di awal 2000-an kembali mengubah status Tidore. Sultan Djafar Syah menjadi tokoh sentral dalam proses pembentukan provinsi baru, yakni Maluku Utara. Pembentukan Malut diresmikan lewat Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 dengan wilayah meliputi empat kesultanan Maluku Kie Raha.
Tahun 2003, lewat Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 terbentuklah kotamadya baru bernama Kota Tidore Kepulauan. Wilayahnya meliputi Pulau Tidore, Pulau Maitara, Pulau Mare, serta sisi timur Pulau Halmahera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Selain berjasa besar dalam berdirinya Provinsi Maluku Utara, Sultan Djafar Syah juga berinisiatif membangun kembali Kedaton Kie yang runtuh pada tahun 1912. Pembangunan ulang diawali pada 1997 oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Maluku. Sembilan tahun berselang renovasi dilanjutkan oleh Pemda Kabupaten Halmahera Tengah.
Kadaton Kie selesai direnovasi pada tahun 2010 dan langsung ditempati sebagai kediaman sultan. Namun baru tiga tahun menempati istana baru, Sultan Djafar Syah mangkat di RS Husada, Jakarta, dalam usia 67 tahun. Penggantinya adalah Sultan Husein Syah yang dinobatkan pada 22 Oktober 2014.
Di bawah pemerintahan Sultan Husein Syah, Kesultanan Tidore mencoba membangkitkan kembali pengaruhnya di Indonesia Timur. Bukan lagi sebagai kekuatan politik tentu saja, melainkan dalam bidang pariwisata dengan kampanye Visit Tidore Island.
Keindahan alam Tidore nan memukau diharapkan menarik minat wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, seperti halnya bangsa-bangsa Eropa berdatangan ke sana di masa lalu. Keindahan alam yang membuat Juan Sebastian Elcano mengucapkan kalimat kekaguman.
"Tidore diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum."
Artikel ini diikut-sertakan dalam Lomba Menulis Blog "Tidore Untuk Indonesia" yang diadakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tidore Kepulauan.

Foto dan Gambar:
Semua foto dan gambar yang saya pilih berada dalam public domain atau berlisensi Creative Commons. Selain itu adalah foto-foto yang penggunaannya telah mendapat ijin, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari pemiliknya untuk kepentingan penulisan artikel mengenai Kesultanan Tidore ini.
Ilustrasi 1: Foto Pulau Maitara dan Tidore oleh Didik Heriyanto (http://www.panoramio.com/photo/89610678)
Ilustrasi 2: Lukisan potret Juan Sebastian Elcano (https://en.wikipedia.org/wiki/Juan_Sebasti%C3%A1n_Elcano)
Ilustrasi 3: Cengkeh, komoditas unggulan Tidore di masa lalu (http://scentindonesia.com/index.php/our-products/natural-resources/80-natural/112-cloves)
Ilustrasi 4: Peta Kepulauan Maluku oleh Pieter van der Aa di tahun 1707 (https://libweb5.princeton.edu/visual_materials/maps/websites/pacific/spice-islands/spice-islands-maps.html)
Ilustrasi 5: Lukisan armada VOC di perairan Malaka (http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=222086)
Ilustrasi 6: Lukisan potret Sultan Syaifuddin yang tersimpan di Museum Czartoryski, Kraków (https://en.wikipedia.org/wiki/Sultanate_of_Tidore)
Ilustrasi 7: Lukisan potret Sultan Nuku (https://en.wikipedia.org/wiki/Nuku_Muhammad_Amiruddin)
Ilustrasi 8: Lukisan yang menggambarkan penaklukkan Tidore oleh VOC ()
Ilustrasi 9: Foto Kadato Kie di Soasio (http://annienugraha.com/tidore-dan-beberapa-wisata-sejarahnya/)
Ilustrasi 10: Repro foto pelantikan Sultan Zainal Abidin Syah sebagai Guberbur Irian Barat (https://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_Syah_dari_Tidore)
Ilustrasi 11: Peta Kota Tidore Kepulauan (screenshot Google Maps)
Referensi
Buku Explore the Enchanting Tidore
https://en.wikipedia.org/wiki/Tidore
https://id.wikipedia.org/wiki/Maluku_Utara
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Tidore
https://en.wikipedia.org/wiki/Sultanate_of_Tidore
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tidore_Kepulauan
https://en.wikipedia.org/wiki/Loa%C3%ADsa_expedition
https://en.wikipedia.org/wiki/Nuku_Muhammad_Amiruddin
https://id.wikipedia.org/wiki/Djafar_Syah_dari_Tidore
https://id.wikipedia.org/wiki/Nuku_Muhammad_Amiruddin
https://id.wikipedia.org/wiki/Bayanullah_dari_Ternate
https://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_India_Company
https://en.wikipedia.org/wiki/Anglo-Dutch_Treaty_of_1814
https://en.wikipedia.org/wiki/Juan_Sebasti%C3%A1n_Elcano
https://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_Syah_dari_Tidore
https://en.wikipedia.org/wiki/%C3%81lvaro_de_Saavedra_Cer%C3%B3n
https://en.wikipedia.org/wiki/Portuguese_colonialism_in_Indonesia
https://alchetron.com/Tidore-10389-W
http://tidore.besaba.com/default.php?page=Home
http://www.wartaone.co.id/sejarah-dan-silsilah-kesultanan-tidore/
http://www.colonialvoyage.com/portuguese-moluccas-ternate-tidore/
http://www.colonialvoyage.com/forts-spice-islands-indonesia-today/
http://www.colonialvoyage.com/spanish-presence-moluccas-ternate-tidore/
http://annienugraha.com/tidore-dan-beberapa-wisata-sejarahnya/
http://annienugraha.com/tidore-dalam-balutan-sejarah-pendahuluan/
http://annienugraha.com/tidore-dalam-balutan-sejarah-kesultanan-tidore/
http://annienugraha.com/tidore-dalam-balutan-sejarah-kesultanan-tidore/
http://annienugraha.com/tidore-dalam-balutan-sejarah-gambaran-tentang-maluku-utara/
https://www.deliknews.com/2014/10/23/sultan-tidore-dinobatkan-secara-syareat/
https://profil.merdeka.com/indonesia/n/nuku-muhammad-amiruddin-kaicil-paparangan/
https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/12311/Appendices_Bibliography.pdf?sequence=7
http://travel.kompas.com/read/2013/05/14/16265915/Tips.Melancong.ke.Tidore
http://travel.kompas.com/read/2015/01/27/131900527/Ternate.dan.Tidore.Pusat.Rempah.Dunia.
http://travel.kompas.com/read/2012/05/23/16051369/.Sowohi.di.Balik.Kesultanan.Tidore
http://print.kompas.com/baca/2015/05/08/Joko-Widodo-Terima-Gelar-Biji-Nagara-Madafolo-dari