JANGAN sekali-kali meremehkan uang receh. Uang pecahan-pecahan kecil dalam bentuk koin tersebut bisa sangat membantu dalam kondisi tanggap darurat. Setidaknya, beginilah pengalaman pribadi saya yang berulang kali terbantu oleh uang receh di saat-saat paling kritis dalam hidup.
"Maaf ya, Pak, kembaliannya uang receh," ujar kasir minimarket di Jl. Lingkar Selatan Pemalang tempat saya berbelanja pada suatu waktu.
Saat itu saya membelikan beberapa potong es krim untuk anak-anak, totalnya hanya kurang beberapa ribu rupiah dari Rp30.000. Saya pun menyodorkan dua lembar uang, masing-masing bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II dan Oto Iskandar Di Nata, pada kasir yang kemudian memberi kembalian berupa koin-koin serupa perak mengilap.
Setibanya di rumah uang receh itu saya kumpulkan di satu tempat khusus. Saya dan istri sudah sepakat mau diapakan koin-koin itu. Disesuaikan dengan pecahannya, biasanya seperti ini cara kami mengalokasikan koin receh kembalian dari warung atau minimarket:
![]()
Pecahan Rp100 dan Rp200, Jatah Pengamen
Meski nilainya sangat kecil, tapi jika dikumpul-kumpulkan koin nominal Rp100 dan Rp200 masih sangat berharga. Ingat pepatah mengatakan sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, bukan? Hitung-hitungan sebentar, jika kita punya 50 keping Rp100 maka total uangnya berjumlah Rp5.000. Di Pemalang, uang sebesar ini masih bisa dipakai membeli nasi sayur dengan lauk telur goreng lho.
Jangan lupakan pula masih banyak orang lain yang memandang uang koin Rp100 dan Rp200 sebagai harta berharga. Ambil contoh pengemis, atau pengamen yang di sini kerap kali mendatangi rumah demi rumah untuk mengumpulkan recehan sebagai penyambung hidup.
Nah, kami mengumpulkan uang-uang pecahan ini di satu wadah khusus sebagai 'dana cadangan' untuk memberi pengamen dan pengemis tersebut. Tentu saja memberinya tidak sekeping dua. Paling tidak sebesar Rp500 yang terdiri dari dua keping Rp200 ditambah sekeping Rp100, atau bisa juga tiga keping Rp100 plus sekeping Rp200. Tak jarang sampai Rp1.000, berupa lima keping Rp200-an.
Pecahan Rp500, Uang Parkir
Khusus koin Rp500 kami tempatkan di wadah lain yang lebih tertutup. Kadang di dalam toples kosong bekas wadah sosis, kadang pula hanya digeletakkan di salah satu sudut kosong dalam lemari buku. Kalau koinnya semakin banyak, istri akan memindahkannya ke sebuah dompet butut dan disimpan di lemari pakaian.
Ada dua kegunaan Rp500 ini. Pertama dan terutama, untuk membayar parkir. Jika bepergian ke kota, saya atau istri akan membuka lemari atau dompet butut tadi dan mengambil beberapa keping koin Rp500. Biaya parkir sepeda motor Rp1.000, sedangkan mobil Rp2.000. Dengan demikian kami tak perlu bingung mencari uang kecil di tempat parkir. Kedua, uang Rp500 akan dikeluarkan untuk pengemis atau pengamen kalau stok Rp100 dan Rp200 sudah habis.
Pecahan Rp1.000, Ditabung
Jika koin Rp100, Rp200, dan Rp500 dikhususkan untuk keperluan "remeh-temeh" alias uang khusus dibagi-bagi, maka koin bergambar angklung selalu kami simpan sebagai tabungan. Benar-benar tabungan dalam arti sebenar-benarnya, sehingga begitu masuk ke dalam celengan tidak kami keluarkan lagi kecuali dalam kondisi sangat mendesak.
Kami punya satu celengan khusus untuk menampung koin-koin Rp1.000 ini. Berapapun koin Rp1.000 yang kami dapatkan hari itu, semuanya langsung masuk ke dalam celengan. Saya bahkan tak jarang sengaja menukar beberapa ribu rupiah uang kertas dengan koin Rp1.000 pada tukang parkir kantor pos kenalan saya sebagai tabungan. Kadang cuma beberapa ribu, tapi pernah juga sampai puluhan ribu.
Oya, jangan bayangkan celengan khusus itu berupa celengan ayam dari tanah atau plastik itu ya. Kami hanya memakai botol minuman kemasan kosong, pernah pula ditaruh di dalam kaleng bekas biskuit lebaran. Baru setelah celengan ayam anak-anak dibongkar, kami pindahkan koin-koin tersebut ke bekas celengan anak-anak.
Ngirit ceritanya, hehehe...
![]()
Diselamatkan Koin Receh
Dari sekeping-dua keping, lama-kelamaan koin-koin Rp1.000 tersebut bertambah banyak. Kami tak pernah menghitung berapa perolehan koin Rp1.000 pada hari itu. Yang kami tahu dan selalu lakukan adalah, begitu mendapat kembalian koin Rp1.000, langsung deh uang itu masuk ke dalam celengan khusus. Kami lakukan itu sedisiplin mungkin.
Saya bukan pegawai yang punya gaji tetap, baik tetap waktu cairnya maupun tetap besar uangnya. Penghasilan saya setiap bulan selalu dalam tanda tanya: kapan dapatnya dan berapa banyaknya? Kondisi duit ngepas lebih akrab kami alami, sehingga strategi memperpanjang napas di tanggal tua sangat fasih kami jalani. Salah satunya menabung koin receh.
Kebiasaan ini sudah saya lakukan sejak jaman kuliah di Jogja dulu. Saya mulai mengumpulkan koin receh setelah membaca buku Kunci Emas karya LY Wiranaga yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2003. Salah satu bagian buku tersebut membahas tentang sesosok ibu yang di masa tuanya bisa berwisata keliling dunia tanpa mendapat sokongan sepeser pun dari anak-anaknya. Rahasianya? Selama berpuluh-puluh tahun ibu tersebut berpantang membelanjakan uang koin!
Saya tak muluk-muluk ingin berwisata keliling dunia seperti si ibu ketika kemudian ikut-ikutan menyimpan seluruh kembalian berupa koin yang saya terima. Saya hanya merasa, menyimpan koin adalah cara menabung paling tidak memberatkan yang bisa dilakukan oleh anak kos. Itu saja.
Pada suatu ketika, saya harus berterima kasih pada kisah inspiratif ibu dalam buku tersebut. Saat mesin ATM tak bisa lagi mengeluarkan uang karena saldo rekening limit, saya membuka tabungan receh. Saya pilah-pilah menurut pecahan, lalu dihitung dan dikumpulkan dalam plastik terpisah. Dengan menahan malu saya tukarkan koin-koin tersebut di tetangga yang punya usaha wartel dan warnet. Hasil penukaran tabungan koin itu bisa untuk bertahan hidup selama sebulan. Alhamdulillah...
Itu kisah semasa masih kuliah. Setelah berkeluarga, pernah pula kami diselamatkan oleh simpanan koin receh. Ceritanya saldo kami habis, sedangkan artikel belum ada yang dimuat, naskah buku berkali-kali ditolak, sedangkan stok susu anak semakin menipis. Jadilah saya membongkar tabungan koin receh kami, lalu dengan muka merah membeli sekotak susu formula di sebuah minimarket dengan koin pecahan Rp500 dan Rp1.000.
Kejadian tersebut sudah berlalu lima tahun, tapi saya masih mengingatnya dengan jelas. Jelas sekali! Hahahaha...
Atur Kemudi agar Selamat Sampai Tujuan
Berangkat dari situ kami kemudian menyusun perencanaan keuangan agar tak sampai membongkar-bongkar tabungan koin receh lagi dalam kondisi tanggal tua. Langkah-langkah kami susun bersama, untuk dijalankan secara disiplin. Maklum, anak-anak sudah mulai sekolah sehingga perencanaan finansial keluarga harus lebih rapi.
Belajar dari pengalaman, ditambah hasil membaca sejumlah referensi dan mengamati lingkungan sekitar, kami punya keyakinan bahwa setiap manusia sejatinya sudah diberi rejeki yang cukup untuk kebutuhan hidup masing-masing. Yang membuat tidak cukup, manusia seringkali lebih mementingkan gaya hidup ketimbang kebutuhan hidup.
Berikut cara kami mengatur keuangan agar tak mengalami krisis tanggal tua akut. Semoga langkah-langkah berikut bermanfaat bagi kita semua.
1. Menentukan skala prioritas
Orang hidup banyak kebutuhan, saya setuju itu. Tapi kita bisa memilah-milah semuanya menjadi tiga tingkatan: utama, penting dan tidak penting. Istilah kerennya kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Fokuslah mula-mula pada kebutuhan primer seperti pangan. Ini prioritas. Kecukupan pangan menjamin kita tenang sehingga bisa memikirkan kebutuhan lain-lain.
Tak perlu mewah-mewah, terpenting ada nasi dulu. Soal sayur dan lauk bisa disesuaikan kok. Kami sendiri mendidik anak-anak untuk menyukai segala jenis makanan dari dapur sendiri, baik hanya tempe goreng ataupun ayam bakar. Lalu setelah urusan pangan ada lagi kebutuhan sekolah anak yang tak bisa ditawar.
Bagi saya sendiri yang penting iuran Speedy terbayar tepat waktu setiap bulan. Bisa gawat kalau sampai telat, karena terlambat sehari berarti denda Rp5.000 dan terlalu sering menunggak bisa membuat jaringan internet diputus. Saya tak bisa berjualan dan bekerja tanpa internet.
2. Atur rencana belanja bulanan, dan patuhi dengan disiplin
Istri saya sangat rajin sekali menyusun daftar kebutuhan bulanan. Berdasarkan kebutuhan dan pengeluaran bulan lalu, ia bisa memperkirakan berapa kebutuhan kami pada bulan berikutnya, apa-apa saja barang yang harus dibeli, dan seberapa banyak jumlahnya.
Di nomor-nomor awal tertera kebutuhan-kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seperti belanja dapur, kebutuhan mandi dan cuci, uang sekolah anak, tagihan ini-itu. Barulah disusul kebutuhan lain yang perlu, namun tidak terlalu mendesak. Dan di nomor-nomor buncit ada pos-pos yang masuk kebutuhan tidak penting namun perlu juga, misalnya makan di luar atau berwisata.
Dengan begitu kami jadi tahu berapa banyak uang yang kami butuhkan dalam sebulan tersebut. Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok berapa, kalau kebutuhan-kebutuhan sekunder dipenuhi jadi berapa, dan jika seluruh yang ada dalam daftar dipenuhi berapa. Tahan nafsu sedikit saja, maka uang yang seharusnya dibelanjakan untuk kebutuhan tersier bisa berubah jadi tabungan, atau setidaknya dana cadangan darurat.
3. Hanya berbelanja sesuai kebutuhan, bukan keinginan
Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, rejeki yang diberikan Allah pada manusia tak akan kurang. Hanya saja kita kerap lebih suka memperturutkan hawa nafsu, sehingga mementingkan gaya hidup alih-alih kebutuhan hidup. Akhirnya ya harus tambal sulam karena sampai kapanpun hawa nafsu itu tidak akan pernah terpuaskan, sementara penghasilan kita ada batasnya.
Kami sadari kalau ingin selamat kami hanya perlu mengeluarkan uang untuk apa yang kami butuhkan. Hindari membeli sesuatu hanya berdasarkan keinginan. Pergi ke toko niatnya membeli beras dan gula, tapi karena tergiur promosi beli dua gratis satu akhirnya serenteng kopi sachet ikut dibawa pulang. Padahal di rumah sudah ada kopi bubuk. Tentu saja ini pemborosan.
Ada sales panci datang ke rumah, menawarkan cicilan ringan dengan tempo setahun, eh, tertarik beli. Jadilah terikat hutang selama setahun untuk panci baru, padahal panci lama masih bisa dipergunakan dengan baik. Ini pengeluaran mubazir yang semestinya bisa dihindari.
"Tapi kan pancinya bisa disimpan, tidak akan rusak." Betul. Tapi kenapa mau terikat hutang selama setahun untuk barang yang tidak kita diperlukan benar?
Langkah paling mudah untuk meredam godaan keinginan saat berbelanja adalah dengan membuat daftar belanja. Catat apa-apa saja yang dibutuhkan saat itu, dan patuhilah daftar tersebut. Akan lebih baik lagi kalau sudah tahu kisaran harga sehingga dapat membawa uang pas.
![]()
4. Pentingkan fungsi, bukan gengsi
Poin-poin di atas lantas membuat kami lebih mempertimbangkan fungsi ketimbang gengsi setiap kali hendak membeli sebuah barang. Saat membeli sepeda motor, contohnya, saya tak tertarik tawaran promo kredit varian terbaru dari saudara yang bekerja di perusahaan pembiayaan. Alih-alih, saya lebih suka membeli sepeda motor lama milik kakak ipar yang sudah tidak dipakai lagi sejak ia mengambil kredit sepeda motor baru.
Begitu pula ketika saya membeli handphone pada tahun 2010. Karena hanya butuh perangkat untuk menelepon dan berkirim SMS, saya cukup mengambil sebuah hape Samsung seharga Rp150.000 ketimbang Blackberry yang tengah jadi primadona. Barulah ketika kebutuhan toko online yang kami kelola menuntut tambahan fasilitas layanan konsumen menggunakan Blackberry Messenger (BBM), kami membeli Blackberry pertama. Kemudian disusul yang kedua tak sampai setahun berselang.
Kini, ketika layanan aplikasi chatting lain juga dibutuhkan, kami membeli smartphone Android yang masing-masing dipegang saya dan istri. Ini semua dibeli berdasarkan apa yang kami butuhkan saat itu, dan semuanya bertujuan mendukung toko online kami yang mana merupakan sumber penghasilan keluarga. Jadi, boleh dibilang ini pengeluaran produktif.
5. Cari toko yang menawarkan harga terbaik
Bagi istri saya, selisih harga Rp1.000 sangat berarti. Ketika tengah berbelanja di sebuah minimarket dan saya ingatkan deterjen mau habis, ia bilang, "Mending beli di pasar aja." Rupanya harga deterjen di toko langganannya yang ada di pasar lebih murah sekian rupiah. Begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan lain. Istri saya rela berpindah-pindah toko demi menghemat uang belanja.
Untuk keperluan lain di luar urusan dapur dan mandi-cuci, utamanya pakaian atau gadget, saya lebih suka berbelanja online. Pemalang kota kecil, kita harus menunggu lama untuk mendapatkan pakaian model terbaru atau gadget terkini. Cara cepat nan mudah untuk mendapatkan produk kekinian adalah berbelanja secara online. Tinggal tunggu 2-3 hari, barang sudah sampai ke rumah.
Tentu saja saya pilih toko online atau marketplace yang memberi harga terbaik, menawarkan diskon menarik, dengan seabrek fasilitas menguntungkan.
Cukupi Sesamamu, Maka Dirimu Akan Dicukupi
Selain kelima langkah teknis tersebut, ada satu strategi lagi yang kami lakukan sebagai pelengkap ikhtiar: sedekah. Tak peduli tengah lapang atau sempit, selalu kami sisihkan rejeki untuk bersedekah. Ini merupakan bentuk rasa syukur kami atas rezeki yang diberikan Allah, sekaligus kepedulian terhadap sesama yang lebih membutuhkan.
Kami percaya pada janji Allah, bahwa orang-orang yang membantu sesama akan dibantu oleh-Nya. Cukupi kekurangan saudaramu, maka kekuranganmu akan dicukupi. Demikian ajaran yang saya percaya betul kebenarannya. Bukan percaya asal percaya, karena beberapa kali saya pernah mengalaminya sendiri. Di antara semuanya, dua kejadian ini yang masih saya ingat betul.
1. Sedekah langsung dibalas, malah lebih banyak!
Saya mengikuti akun Twitter gerakan sosial Sedekah Rombongan (SR) yang digagas oleh Saptuari Sugiharto. Di akun tersebut kerap di-share foto-foto pasien dampingan SR yang dana pengobatannya 100% dari berasal dari hasil sumbangan donatur di seluruh Indonesia. Baik yang menyumbang puluhan atau ratusan ribu, sampai yang memberi jutaan rupiah.
Lama-kelamaan saya tergerak ikut membantu. Lalu sembari sarapan saya mengirimkan seluruh hasil penjualan pada hari sebelumnya ke rekening SR. Tak banyak sih, tapi ya lumayan juga untuk ukuran pedagang online kecil seperti saya. Omset satu hari penuh lho, dan kebetulan kemarin lebih banyak dari biasanya.
Usai sarapan, seorang bapak datang bertamu. Rupanya bapak tersebut teman sekantor pembeli saya yang datang tempo hari. "Boleh lihat-lihat koleksinya, Mas? Saya punya beberapa koleksi, pengen saya lengkapi," ujar si Bapak.
Saya pun mengeluarkan dagangan yang tersusun rapi dalam album-album uang kertas. Ada pula yang diletakkan dalam wadah-wadah plastik bekas tempat jajanan anak-anak. Si Bapak melihat-lihat, memilih beberapa dan disisihkan di sebelah tangannya, lalu meminta saya menghitung. Saya menyebutkan nominal, kemudian si Bapak mengeluarkan dompetnya untuk membayar. Lunas, tanpa menawar.
Transaksi itu berlangsung sangat cepat. Hanya sekitar seperempat jam kemudian si Bapak sudah pamit karena harus kembali ke kantor. Begitu si Bapak menghilang dari pandangan, saya membereskan dagangan yang berceceran di atas meja tamu, lalu menghitung uang hasil transaksi pagi itu. Ada beberapa lembar Rp100.000 dan Rp50.000, bercampur dengan lembaran-lembaran berwarna hijau dan ungu.
Alamak! Hitung punya hitung, hasil transaksi tersebut besarnya dua kali lipat dari nominal uang yang saya transfer ke rekening SR tepat sebelum kedatangan si Bapak. Allahu akbar!
2. Uang dipinjam teman, dikembalikan oleh Allah dalam bentuk pekerjaan
Suatu ketika seorang teman mengirim SMS hendak meminjam uang pada saya. Ia sedang butuh uang segera karena adiknya harus membayar uang sekolah hari itu juga. Ia sudah berusaha meminjam ke tetangga kanan-kiri, tapi hingga saat itu belum ada yang memberi pinjaman. Terpaksa ia meminjam pada saya yang berjarak ratusan kilometer dari tempat tinggalnya.
Tak banyak sih yang dipinjam, ia hanya menyebut angka Rp800.000. Masalahnya, saldo di rekening saya hanya tersisa Rp500.000. Itu bekal kami yang tersisa hingga ada pemasukan lagi yang entah kapan datangnya. Saya lantas berunding dengan istri, lalu kami bilang pada teman tersebut bahwa kami hanya bisa meminjamkan Rp450.000. Sisanya silakan usahakan lagi.
Teman saya tak punya rekening bank, jadi uang dikirim lewat wesel pos. Dengan uang pinjaman dari kami itulah biaya sekolah adik teman saya tersebut terbayarkan. Sedangkan untuk kekurangannya, teman saya berhasil melobi pihak sekolah agar memberikan tenggat waktu hingga beberapa bulan ke depan. Dicicil dua kali ceritanya. Kami ikut senang mendengarnya.
Beberapa hari setelah itu, sebuah telepon masuk ke hape saya. Rupanya teman saya di Solo sedang butuh tenaga content writer. "Kamu nulis untuk blog ini ya. Sehari 4-5 judul saja nggak apa-apa, nanti aku buatkan username dan password biar kamu bisa langsung masuk ke dashboard," katanya tanpa basa-basi.
Untuk pekerjaan tersebut, saya diberi fee Rp 2 juta sebulan. Alhamdulillah...
*****
Saya selalu percaya bahwa Allah menjamin rezeki tiap-tiap makhluk hidup ciptaannya. Karenanya saya tak terlalu risau ketika tanggal tua dan tak ada uang sepeser pun di kantong maupun saldo rekening. Saya percaya, Allah pasti akan memberikan rezekinya di saat saya benar-benar membutuhkkan. Beberapa kali terjadi, saat kami butuh uang saat itulah ada saja yang memberi uang dalam berbagai bentuk.
Saya juga percaya, dalam rezeki saya ada sebagian hak orang lain yang dititipkan Allah. Karenanya saya dan istri selalu berusaha membantu siapapun yang datang meminta bantuan, baik kami sedang lapang maupun dalam kondisi sama-sama tanggal tua. Uang yang kami dapat adalah pemberian Allah, maka bagaimanapun cara dan kapanpun Ia memintanya kembali harus kami berikan dengan tulus ikhlas.
Semoga bermanfaat!
"Maaf ya, Pak, kembaliannya uang receh," ujar kasir minimarket di Jl. Lingkar Selatan Pemalang tempat saya berbelanja pada suatu waktu.
Saat itu saya membelikan beberapa potong es krim untuk anak-anak, totalnya hanya kurang beberapa ribu rupiah dari Rp30.000. Saya pun menyodorkan dua lembar uang, masing-masing bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II dan Oto Iskandar Di Nata, pada kasir yang kemudian memberi kembalian berupa koin-koin serupa perak mengilap.
Setibanya di rumah uang receh itu saya kumpulkan di satu tempat khusus. Saya dan istri sudah sepakat mau diapakan koin-koin itu. Disesuaikan dengan pecahannya, biasanya seperti ini cara kami mengalokasikan koin receh kembalian dari warung atau minimarket:

Pecahan Rp100 dan Rp200, Jatah Pengamen
Meski nilainya sangat kecil, tapi jika dikumpul-kumpulkan koin nominal Rp100 dan Rp200 masih sangat berharga. Ingat pepatah mengatakan sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, bukan? Hitung-hitungan sebentar, jika kita punya 50 keping Rp100 maka total uangnya berjumlah Rp5.000. Di Pemalang, uang sebesar ini masih bisa dipakai membeli nasi sayur dengan lauk telur goreng lho.
Jangan lupakan pula masih banyak orang lain yang memandang uang koin Rp100 dan Rp200 sebagai harta berharga. Ambil contoh pengemis, atau pengamen yang di sini kerap kali mendatangi rumah demi rumah untuk mengumpulkan recehan sebagai penyambung hidup.
Nah, kami mengumpulkan uang-uang pecahan ini di satu wadah khusus sebagai 'dana cadangan' untuk memberi pengamen dan pengemis tersebut. Tentu saja memberinya tidak sekeping dua. Paling tidak sebesar Rp500 yang terdiri dari dua keping Rp200 ditambah sekeping Rp100, atau bisa juga tiga keping Rp100 plus sekeping Rp200. Tak jarang sampai Rp1.000, berupa lima keping Rp200-an.
Pecahan Rp500, Uang Parkir
Khusus koin Rp500 kami tempatkan di wadah lain yang lebih tertutup. Kadang di dalam toples kosong bekas wadah sosis, kadang pula hanya digeletakkan di salah satu sudut kosong dalam lemari buku. Kalau koinnya semakin banyak, istri akan memindahkannya ke sebuah dompet butut dan disimpan di lemari pakaian.
Ada dua kegunaan Rp500 ini. Pertama dan terutama, untuk membayar parkir. Jika bepergian ke kota, saya atau istri akan membuka lemari atau dompet butut tadi dan mengambil beberapa keping koin Rp500. Biaya parkir sepeda motor Rp1.000, sedangkan mobil Rp2.000. Dengan demikian kami tak perlu bingung mencari uang kecil di tempat parkir. Kedua, uang Rp500 akan dikeluarkan untuk pengemis atau pengamen kalau stok Rp100 dan Rp200 sudah habis.
Pecahan Rp1.000, Ditabung
Jika koin Rp100, Rp200, dan Rp500 dikhususkan untuk keperluan "remeh-temeh" alias uang khusus dibagi-bagi, maka koin bergambar angklung selalu kami simpan sebagai tabungan. Benar-benar tabungan dalam arti sebenar-benarnya, sehingga begitu masuk ke dalam celengan tidak kami keluarkan lagi kecuali dalam kondisi sangat mendesak.
Kami punya satu celengan khusus untuk menampung koin-koin Rp1.000 ini. Berapapun koin Rp1.000 yang kami dapatkan hari itu, semuanya langsung masuk ke dalam celengan. Saya bahkan tak jarang sengaja menukar beberapa ribu rupiah uang kertas dengan koin Rp1.000 pada tukang parkir kantor pos kenalan saya sebagai tabungan. Kadang cuma beberapa ribu, tapi pernah juga sampai puluhan ribu.
Oya, jangan bayangkan celengan khusus itu berupa celengan ayam dari tanah atau plastik itu ya. Kami hanya memakai botol minuman kemasan kosong, pernah pula ditaruh di dalam kaleng bekas biskuit lebaran. Baru setelah celengan ayam anak-anak dibongkar, kami pindahkan koin-koin tersebut ke bekas celengan anak-anak.
Ngirit ceritanya, hehehe...

Diselamatkan Koin Receh
Dari sekeping-dua keping, lama-kelamaan koin-koin Rp1.000 tersebut bertambah banyak. Kami tak pernah menghitung berapa perolehan koin Rp1.000 pada hari itu. Yang kami tahu dan selalu lakukan adalah, begitu mendapat kembalian koin Rp1.000, langsung deh uang itu masuk ke dalam celengan khusus. Kami lakukan itu sedisiplin mungkin.
Saya bukan pegawai yang punya gaji tetap, baik tetap waktu cairnya maupun tetap besar uangnya. Penghasilan saya setiap bulan selalu dalam tanda tanya: kapan dapatnya dan berapa banyaknya? Kondisi duit ngepas lebih akrab kami alami, sehingga strategi memperpanjang napas di tanggal tua sangat fasih kami jalani. Salah satunya menabung koin receh.
Kebiasaan ini sudah saya lakukan sejak jaman kuliah di Jogja dulu. Saya mulai mengumpulkan koin receh setelah membaca buku Kunci Emas karya LY Wiranaga yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2003. Salah satu bagian buku tersebut membahas tentang sesosok ibu yang di masa tuanya bisa berwisata keliling dunia tanpa mendapat sokongan sepeser pun dari anak-anaknya. Rahasianya? Selama berpuluh-puluh tahun ibu tersebut berpantang membelanjakan uang koin!
Saya tak muluk-muluk ingin berwisata keliling dunia seperti si ibu ketika kemudian ikut-ikutan menyimpan seluruh kembalian berupa koin yang saya terima. Saya hanya merasa, menyimpan koin adalah cara menabung paling tidak memberatkan yang bisa dilakukan oleh anak kos. Itu saja.
Pada suatu ketika, saya harus berterima kasih pada kisah inspiratif ibu dalam buku tersebut. Saat mesin ATM tak bisa lagi mengeluarkan uang karena saldo rekening limit, saya membuka tabungan receh. Saya pilah-pilah menurut pecahan, lalu dihitung dan dikumpulkan dalam plastik terpisah. Dengan menahan malu saya tukarkan koin-koin tersebut di tetangga yang punya usaha wartel dan warnet. Hasil penukaran tabungan koin itu bisa untuk bertahan hidup selama sebulan. Alhamdulillah...
Itu kisah semasa masih kuliah. Setelah berkeluarga, pernah pula kami diselamatkan oleh simpanan koin receh. Ceritanya saldo kami habis, sedangkan artikel belum ada yang dimuat, naskah buku berkali-kali ditolak, sedangkan stok susu anak semakin menipis. Jadilah saya membongkar tabungan koin receh kami, lalu dengan muka merah membeli sekotak susu formula di sebuah minimarket dengan koin pecahan Rp500 dan Rp1.000.
Kejadian tersebut sudah berlalu lima tahun, tapi saya masih mengingatnya dengan jelas. Jelas sekali! Hahahaha...
Atur Kemudi agar Selamat Sampai Tujuan
Berangkat dari situ kami kemudian menyusun perencanaan keuangan agar tak sampai membongkar-bongkar tabungan koin receh lagi dalam kondisi tanggal tua. Langkah-langkah kami susun bersama, untuk dijalankan secara disiplin. Maklum, anak-anak sudah mulai sekolah sehingga perencanaan finansial keluarga harus lebih rapi.
Belajar dari pengalaman, ditambah hasil membaca sejumlah referensi dan mengamati lingkungan sekitar, kami punya keyakinan bahwa setiap manusia sejatinya sudah diberi rejeki yang cukup untuk kebutuhan hidup masing-masing. Yang membuat tidak cukup, manusia seringkali lebih mementingkan gaya hidup ketimbang kebutuhan hidup.
Berikut cara kami mengatur keuangan agar tak mengalami krisis tanggal tua akut. Semoga langkah-langkah berikut bermanfaat bagi kita semua.
1. Menentukan skala prioritas
Orang hidup banyak kebutuhan, saya setuju itu. Tapi kita bisa memilah-milah semuanya menjadi tiga tingkatan: utama, penting dan tidak penting. Istilah kerennya kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Fokuslah mula-mula pada kebutuhan primer seperti pangan. Ini prioritas. Kecukupan pangan menjamin kita tenang sehingga bisa memikirkan kebutuhan lain-lain.
Tak perlu mewah-mewah, terpenting ada nasi dulu. Soal sayur dan lauk bisa disesuaikan kok. Kami sendiri mendidik anak-anak untuk menyukai segala jenis makanan dari dapur sendiri, baik hanya tempe goreng ataupun ayam bakar. Lalu setelah urusan pangan ada lagi kebutuhan sekolah anak yang tak bisa ditawar.
Bagi saya sendiri yang penting iuran Speedy terbayar tepat waktu setiap bulan. Bisa gawat kalau sampai telat, karena terlambat sehari berarti denda Rp5.000 dan terlalu sering menunggak bisa membuat jaringan internet diputus. Saya tak bisa berjualan dan bekerja tanpa internet.
2. Atur rencana belanja bulanan, dan patuhi dengan disiplin
Istri saya sangat rajin sekali menyusun daftar kebutuhan bulanan. Berdasarkan kebutuhan dan pengeluaran bulan lalu, ia bisa memperkirakan berapa kebutuhan kami pada bulan berikutnya, apa-apa saja barang yang harus dibeli, dan seberapa banyak jumlahnya.
Di nomor-nomor awal tertera kebutuhan-kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seperti belanja dapur, kebutuhan mandi dan cuci, uang sekolah anak, tagihan ini-itu. Barulah disusul kebutuhan lain yang perlu, namun tidak terlalu mendesak. Dan di nomor-nomor buncit ada pos-pos yang masuk kebutuhan tidak penting namun perlu juga, misalnya makan di luar atau berwisata.
Dengan begitu kami jadi tahu berapa banyak uang yang kami butuhkan dalam sebulan tersebut. Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok berapa, kalau kebutuhan-kebutuhan sekunder dipenuhi jadi berapa, dan jika seluruh yang ada dalam daftar dipenuhi berapa. Tahan nafsu sedikit saja, maka uang yang seharusnya dibelanjakan untuk kebutuhan tersier bisa berubah jadi tabungan, atau setidaknya dana cadangan darurat.
3. Hanya berbelanja sesuai kebutuhan, bukan keinginan
Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, rejeki yang diberikan Allah pada manusia tak akan kurang. Hanya saja kita kerap lebih suka memperturutkan hawa nafsu, sehingga mementingkan gaya hidup alih-alih kebutuhan hidup. Akhirnya ya harus tambal sulam karena sampai kapanpun hawa nafsu itu tidak akan pernah terpuaskan, sementara penghasilan kita ada batasnya.
Kami sadari kalau ingin selamat kami hanya perlu mengeluarkan uang untuk apa yang kami butuhkan. Hindari membeli sesuatu hanya berdasarkan keinginan. Pergi ke toko niatnya membeli beras dan gula, tapi karena tergiur promosi beli dua gratis satu akhirnya serenteng kopi sachet ikut dibawa pulang. Padahal di rumah sudah ada kopi bubuk. Tentu saja ini pemborosan.
Ada sales panci datang ke rumah, menawarkan cicilan ringan dengan tempo setahun, eh, tertarik beli. Jadilah terikat hutang selama setahun untuk panci baru, padahal panci lama masih bisa dipergunakan dengan baik. Ini pengeluaran mubazir yang semestinya bisa dihindari.
"Tapi kan pancinya bisa disimpan, tidak akan rusak." Betul. Tapi kenapa mau terikat hutang selama setahun untuk barang yang tidak kita diperlukan benar?
Langkah paling mudah untuk meredam godaan keinginan saat berbelanja adalah dengan membuat daftar belanja. Catat apa-apa saja yang dibutuhkan saat itu, dan patuhilah daftar tersebut. Akan lebih baik lagi kalau sudah tahu kisaran harga sehingga dapat membawa uang pas.

4. Pentingkan fungsi, bukan gengsi
Poin-poin di atas lantas membuat kami lebih mempertimbangkan fungsi ketimbang gengsi setiap kali hendak membeli sebuah barang. Saat membeli sepeda motor, contohnya, saya tak tertarik tawaran promo kredit varian terbaru dari saudara yang bekerja di perusahaan pembiayaan. Alih-alih, saya lebih suka membeli sepeda motor lama milik kakak ipar yang sudah tidak dipakai lagi sejak ia mengambil kredit sepeda motor baru.
Begitu pula ketika saya membeli handphone pada tahun 2010. Karena hanya butuh perangkat untuk menelepon dan berkirim SMS, saya cukup mengambil sebuah hape Samsung seharga Rp150.000 ketimbang Blackberry yang tengah jadi primadona. Barulah ketika kebutuhan toko online yang kami kelola menuntut tambahan fasilitas layanan konsumen menggunakan Blackberry Messenger (BBM), kami membeli Blackberry pertama. Kemudian disusul yang kedua tak sampai setahun berselang.
Kini, ketika layanan aplikasi chatting lain juga dibutuhkan, kami membeli smartphone Android yang masing-masing dipegang saya dan istri. Ini semua dibeli berdasarkan apa yang kami butuhkan saat itu, dan semuanya bertujuan mendukung toko online kami yang mana merupakan sumber penghasilan keluarga. Jadi, boleh dibilang ini pengeluaran produktif.
5. Cari toko yang menawarkan harga terbaik
Bagi istri saya, selisih harga Rp1.000 sangat berarti. Ketika tengah berbelanja di sebuah minimarket dan saya ingatkan deterjen mau habis, ia bilang, "Mending beli di pasar aja." Rupanya harga deterjen di toko langganannya yang ada di pasar lebih murah sekian rupiah. Begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan lain. Istri saya rela berpindah-pindah toko demi menghemat uang belanja.
Untuk keperluan lain di luar urusan dapur dan mandi-cuci, utamanya pakaian atau gadget, saya lebih suka berbelanja online. Pemalang kota kecil, kita harus menunggu lama untuk mendapatkan pakaian model terbaru atau gadget terkini. Cara cepat nan mudah untuk mendapatkan produk kekinian adalah berbelanja secara online. Tinggal tunggu 2-3 hari, barang sudah sampai ke rumah.
Tentu saja saya pilih toko online atau marketplace yang memberi harga terbaik, menawarkan diskon menarik, dengan seabrek fasilitas menguntungkan.
Cukupi Sesamamu, Maka Dirimu Akan Dicukupi
Selain kelima langkah teknis tersebut, ada satu strategi lagi yang kami lakukan sebagai pelengkap ikhtiar: sedekah. Tak peduli tengah lapang atau sempit, selalu kami sisihkan rejeki untuk bersedekah. Ini merupakan bentuk rasa syukur kami atas rezeki yang diberikan Allah, sekaligus kepedulian terhadap sesama yang lebih membutuhkan.
Kami percaya pada janji Allah, bahwa orang-orang yang membantu sesama akan dibantu oleh-Nya. Cukupi kekurangan saudaramu, maka kekuranganmu akan dicukupi. Demikian ajaran yang saya percaya betul kebenarannya. Bukan percaya asal percaya, karena beberapa kali saya pernah mengalaminya sendiri. Di antara semuanya, dua kejadian ini yang masih saya ingat betul.
1. Sedekah langsung dibalas, malah lebih banyak!
Saya mengikuti akun Twitter gerakan sosial Sedekah Rombongan (SR) yang digagas oleh Saptuari Sugiharto. Di akun tersebut kerap di-share foto-foto pasien dampingan SR yang dana pengobatannya 100% dari berasal dari hasil sumbangan donatur di seluruh Indonesia. Baik yang menyumbang puluhan atau ratusan ribu, sampai yang memberi jutaan rupiah.
Lama-kelamaan saya tergerak ikut membantu. Lalu sembari sarapan saya mengirimkan seluruh hasil penjualan pada hari sebelumnya ke rekening SR. Tak banyak sih, tapi ya lumayan juga untuk ukuran pedagang online kecil seperti saya. Omset satu hari penuh lho, dan kebetulan kemarin lebih banyak dari biasanya.
Usai sarapan, seorang bapak datang bertamu. Rupanya bapak tersebut teman sekantor pembeli saya yang datang tempo hari. "Boleh lihat-lihat koleksinya, Mas? Saya punya beberapa koleksi, pengen saya lengkapi," ujar si Bapak.
Saya pun mengeluarkan dagangan yang tersusun rapi dalam album-album uang kertas. Ada pula yang diletakkan dalam wadah-wadah plastik bekas tempat jajanan anak-anak. Si Bapak melihat-lihat, memilih beberapa dan disisihkan di sebelah tangannya, lalu meminta saya menghitung. Saya menyebutkan nominal, kemudian si Bapak mengeluarkan dompetnya untuk membayar. Lunas, tanpa menawar.
Transaksi itu berlangsung sangat cepat. Hanya sekitar seperempat jam kemudian si Bapak sudah pamit karena harus kembali ke kantor. Begitu si Bapak menghilang dari pandangan, saya membereskan dagangan yang berceceran di atas meja tamu, lalu menghitung uang hasil transaksi pagi itu. Ada beberapa lembar Rp100.000 dan Rp50.000, bercampur dengan lembaran-lembaran berwarna hijau dan ungu.
Alamak! Hitung punya hitung, hasil transaksi tersebut besarnya dua kali lipat dari nominal uang yang saya transfer ke rekening SR tepat sebelum kedatangan si Bapak. Allahu akbar!
2. Uang dipinjam teman, dikembalikan oleh Allah dalam bentuk pekerjaan
Suatu ketika seorang teman mengirim SMS hendak meminjam uang pada saya. Ia sedang butuh uang segera karena adiknya harus membayar uang sekolah hari itu juga. Ia sudah berusaha meminjam ke tetangga kanan-kiri, tapi hingga saat itu belum ada yang memberi pinjaman. Terpaksa ia meminjam pada saya yang berjarak ratusan kilometer dari tempat tinggalnya.
Tak banyak sih yang dipinjam, ia hanya menyebut angka Rp800.000. Masalahnya, saldo di rekening saya hanya tersisa Rp500.000. Itu bekal kami yang tersisa hingga ada pemasukan lagi yang entah kapan datangnya. Saya lantas berunding dengan istri, lalu kami bilang pada teman tersebut bahwa kami hanya bisa meminjamkan Rp450.000. Sisanya silakan usahakan lagi.
Teman saya tak punya rekening bank, jadi uang dikirim lewat wesel pos. Dengan uang pinjaman dari kami itulah biaya sekolah adik teman saya tersebut terbayarkan. Sedangkan untuk kekurangannya, teman saya berhasil melobi pihak sekolah agar memberikan tenggat waktu hingga beberapa bulan ke depan. Dicicil dua kali ceritanya. Kami ikut senang mendengarnya.
Beberapa hari setelah itu, sebuah telepon masuk ke hape saya. Rupanya teman saya di Solo sedang butuh tenaga content writer. "Kamu nulis untuk blog ini ya. Sehari 4-5 judul saja nggak apa-apa, nanti aku buatkan username dan password biar kamu bisa langsung masuk ke dashboard," katanya tanpa basa-basi.
Untuk pekerjaan tersebut, saya diberi fee Rp 2 juta sebulan. Alhamdulillah...
Saya selalu percaya bahwa Allah menjamin rezeki tiap-tiap makhluk hidup ciptaannya. Karenanya saya tak terlalu risau ketika tanggal tua dan tak ada uang sepeser pun di kantong maupun saldo rekening. Saya percaya, Allah pasti akan memberikan rezekinya di saat saya benar-benar membutuhkkan. Beberapa kali terjadi, saat kami butuh uang saat itulah ada saja yang memberi uang dalam berbagai bentuk.
Saya juga percaya, dalam rezeki saya ada sebagian hak orang lain yang dititipkan Allah. Karenanya saya dan istri selalu berusaha membantu siapapun yang datang meminta bantuan, baik kami sedang lapang maupun dalam kondisi sama-sama tanggal tua. Uang yang kami dapat adalah pemberian Allah, maka bagaimanapun cara dan kapanpun Ia memintanya kembali harus kami berikan dengan tulus ikhlas.
Semoga bermanfaat!